"Mengapa bisa patah? Padahal tak bertulang."
🍂🍃🍁
Sembari menyesap teh hangat, pandanganku kosong kepada gumpalan awan di sisi barat langit. Senja sebentar lagi akan pergi diganti malam. Gelap pun akan segera mendekap. Begitulah, dunia berputar. Kali saja kini jatahku patah hati. Tetapi, barangkali esok tangkai patah akan bertunas dan bersemi.
Aku tidak habis pikir, bagaimana bisa karyawanku sendiri, orang kepercayaanku, karyawan terbaik, karyawan tersopan, terkalem se-Warung Pecel Bu Ayu, ternyata bak seekor ular kobra betina gabas yang lahapnya memangsa rusa segar yang tengah kuburu.
"Leni, percuma kamu berjilbab, berlagak alim, tetapi setan betul kelakuanmu! Di saat bunga sakura mulai bersemi-semi, kau datang sebagai musim panas. Kau tahu hatiku tengah menjadi bunga, lalu seenaknya kau merusak segala. Kau hancurkan semua. Kau porak-porandakan hingga akar-akarnya, kau cabut bersih semua tanpa sisa. Biadap kamu, Leni! Biadab! Sungguh biadab!" Aku marah seorang diri di atas rooftop rumah. Melampiaskan emosi kepada satu pot bunga yang tak berdosa. Tanganku yang kuat membanting pot keramik itu hingga berkeping-keping pecah.
"Kau tahu Satria?! Hatiku seperti pot itu?! Hancur, lebur, tidak mungkin bisa kurangkai kembali." Darah mendidih beralih kumuncratkan pada bayangan cowok manis yang anggap kadal itu.
Nyaris seisi tanah dalam pot menghambur mengotori lantai. Pikiranku kacau balau. Rambutku acak adul seperti habis diserang angin puting beliung.
"Wahai Tuhan, bukankah Engkau yang telah menciptakan cinta? Bukankah Engkau sendiri bilang bahwa cinta itu indah? Tapi faktanya apa? Cinta yang Kau cipta tak ubahnya sianida? Racun pembunuh." Setelah memaki bayangan Leni si cewek berjilbab tetapi berperangai busuk itu, dan menghardik Satria si buaya lumpur ataulah kadal ataulah jenis-jenis hewan sekebun binatang kulontar padanya, aku lalu bergeser mendeliki langit. Kembali mendemo Tuhan.
"Tuhan! Kenapa ini bisa terjadi padaku? Kenapa ibuku berguru pada Kiai Fuad? Kenapa Kiai Fuad memodali Warung Pecel Bu Ayu? Kenapa dari itu semua aku kemudian dinikahkan dengan Iqbal si lelaki tak utuh itu? Kenapa Leni menjadi karyawanku? Kenapa pula Satria memasok gula ke warungku? Apakah ini memang pengaturan-Mu? Berkatalah, Tuhan! Berkatalah!"
Biarlah malaikat Atid mengetik point dosaku di bukunya. Yang entah berapa bobotnya. Tak tanggung-tanggung, Tuhan pun seakan ikut kumarahi.
Mentari dalam busana jingganya terlihat mulai berpamitan. Langit menambahkan warna gelapnya. Dahan-dahan pohon jambu depan rumah bergoyang-goyang di terpa angin. Beberapa ekor burung menyeberang di atas kepalaku. Waktunya aku pulang, menutup pintu lekat-lekat.
Saklar lampu kunyalakan. Selambu putih kurapatkan. Seorang diri kudalam ruang serba putih ini. Setelah itu, aku bingung harus bagaimana. Aku seperti sudah tak punya pilihan. Hatiku mengerat kesakitan. Andai hati bersuara, barangkali lengkingannya terdengar nyaring hingga ke belahan bumi lain.