Arwah Cinta Van der Ham

Ikhwanus Sobirin
Chapter #28

Makam Londo

"Misteri demi misteri datang. Luka dan luka bertindih. Hingga kapan akan selesai?"

🍂🍃🍁

Satu hal paling misteri hingga detik ini ialah kebiasaan Mbah Uyut alias nenek atau nama lengkapnya Raden Ayoe Oetami itu menabur kembang turi di sebuah pusara angker yang terletak tak jauh dari Candi Songgoriti. Pusara angker itu adalah makam Londo.

Bulan-bulan ini, kuantitas kunjungan Mbah Uyut ke makam angker bisa dihitung dengan jari. Sudah tak seperti biasanya, saban Jumat pagi, dia sudah dandan rapi dengan sanggul bulat dan kebaya model kutu baru. Pak Kar sopir pribadi siap mengantarkannya ke tempat tujuan.

Dengan selendang menyangkut di pundak, nenek memasuki mobil. Pagi ini, kebetulan Pak Kar sakit, aku berinisiatif mengajak nenek ke makam kuno itu. Sekalian rasa penasaranku telah mencapai level puncak. Saatnya memaksa nenek untuk segera membeberkan selebar-lebarnya, tentang siapa sebenarnya Van Der Ham itu--nama yang terukir di nisan besar berlumut yang rajin nenek taburi kembang turi.

Apakah foto kuno di Warung Pecel Bu Ayu itu juga foto dari Van der Ham? Punya hubungan apa mereka berdua di masa lampau? Lantas, apa hubungannya dengan Warung Pecel Bu Ayu?

Pertanyaan-pertanyaan itu menggelisah luar biasa dalam cekungan benak. Kinilah saatnya kesempatan emas datang. Kalau sampai nenek nanti tidak mau cerita, aku sudah menyiapkan pistol mainan guna mengancamnya.

Nenek duduk tenang tanpa suara di samping kemudi. Tangannya yang kempis memeluk erat sekeranjang bunga mawar yang telah dicampur dengan kembang turi. Pikiranku kemudian dirasuki bisikan aneh, yang mungkin cuma perasaanku saja; rajin-rajinlah ke makam londo supaya warungmu laris dan hidupku selamat. Ah, sengkring-sengkring di kuping rasanya. Leher tiba-tiba merinding. Bulu kuduk pun ikut berdiri.

Sadarku, memang semenjak nenek jarang berziarah ke kuburan Londo, bahkan sudah absain dua bulan lebih tidak ke sana, omzet warung makin melongsor drastis. Nyaris turun mencapai 60 persen dari rata-rata pendapatan normalnya.

Mungkin, apa yang pernah dituduhkan dua wartawan kurang ajar dulu itu benar adanya. Warung Pecel Bu Ayu laris karena ada pengaruh mistis atau istilah lain pesugihan. Tetapi, dari diriku masih menginjak bangku SMP, hingga dewasa ini, aku belum pernah sekalipun mengendus aroma-aroma mistis dari nenek atau gelagat Ibu meraup keuntungan via jalan ghaib. Toh, semisal usaha kami tumbuh atas campur tangan makhluk gaib, pasti kiai Fuad juga tidak mungkin mau menanamkan modalnya. Seorang kiai mana mungkin mau sama harta hasil pesugihan.

Nenek, Ayah, dan Ibu tidak pernah sekali pun bercerita tentang dunia dukun atau penglarisan. Yang kutahu, sejak muda aku sudah mengikuti jalannya bisnis keluarga dengan apa adanya dengan usaha-usaha kreatif memakai segala cara termasuk promosi ke media digital.

Setiba di lokasi, aku turun lebih dulu. Kemudian, membukakan pintu mobil untuk nenek. Dia memegangi pundakku saat kaki tuanya mulai menyentuh tanah. Pelan dan sangat hati-hati. Salah gerakan sedikit saja, barangkali orang selansia nenek akan mudah keserang keseleo atau sendi patah.

Kaki nenek melangkah dua jangkah menjauhi pintu mobil. Gegas, satu tongkat yang terbuat dari bahan stainless steel, kuulurkan padanya. Walau sudah renta, dia masih bisa berdiri cukup tegap. Telah berusia 90 tahunan, punggung nenek seperti belum mengenal kata bungkuk. Punggungnya bisa selurus itu lantaran nenek dari muda rajin mengenakan udet di perutnya. Udet berupa kain keras panjang yang melilit rapat di perut. Konon, sejak remaja, nenek sudah mengenakan alat pelangsing alami khas Jawa itu. Makanya, perut nenek selalu tampak rata dan tulang punggungnya lurus.

Pelan, langkah kami berdua menyeberangi pagar pembatas. Makam kuno itu tampak tak terurus, semak belukar menghiasi bahkan memakan sebagian bangunan makam. Ada sekitar lima makam berukuran besar dengan nisan bertuliskan bahasa Belanda. Kami mendekati makam yang paling ujung sendiri. Tertulis jelas sebuah nama "Van der Ham."

Tangan renta nenek mulai menjumut kembang turi dari keranjang yang dia tenteng sendiri dari dalam mobil tadi. Lantas, dengan gerakan cermat, nenek menata sekar di atas pusara. Sesekali, tangan nenek menjamahi ukiran nama orang Belanda itu dengan tatapan vakum.

Aku mulai melempar tebak, jangan-jangan, Van der Ham ini adalah mantan nenek di masa lalu. Kemudian, mantannya itu mati perutnya ditusuk bambu runcing oleh pejuang pribumu, lalu nenek masih belum bisa move on hingga kini, hingga dengan rajinnya dalam usia senja, nenek masih tak bisa jauh-jauh dari Van der Ham.

Beberapa menit nenek menekuri keheningan. Suasana makam hanya terdengar kesenyapan. Kecuali decit burung dan suara serangga sekilas lewat. Angin menyibak dedahanan, turut menciptakan alunan musik alam.

Aku menunggu nenek menyelesaikan ritualnya. Dia tampak memejam sembari bibirnya mengkomat-kamit tipis. Kurang bisa kudengar dia mengucap doa apa. Kalau pun membaca yasin atau tahlil, toh di batu nisan Van der Ham terukir simbol salib kecil. Ah, tidak mungkin nenek membaca tahlil. Atau mungkin dia sedang membaca puisi? Puisi cinta yang dulu pernah dia tulis untuk si pria Londo? Entahlah, pikiranku jadi mengelantur ke mana-mana jadinya.

Namun pada akhirnya, tanpa aku mengeluarkan senjata pamungkas berupa pistol mainan sebagai ancaman, tak kunyana tiba-tiba nenek membuka mulutnya setelah sekian abad terdiam.

Lirih, seperti radio mau kehabisan baterai. "Nenek sudah sangat tua, Sekar."

"Iya, itu pasti, Nek."

"Sudah saatnya kamu paham," lirih nenek. Mataku membelalak. Daun kupingku membuka lebar-lebar. Siap menangkap cerita dari nenek. Wah, akhirnya yang ditunggu-tunggu orang senegara selama berabad-abad lamanya, tiba juga akhirnya.

Lihat selengkapnya