"Sejarah menjadi kutukan. Tak bisa terlepas kecuali dijalankan."
🍂🍃🍁
"Minum teh anget dulu, Nek. Biar kuat menghadapi kenyataan hidup." Aku cekikikan kecil sambil meletakkan secangkir teh tawar buatnya. Kami berdua saling berhadap-hadapan di meja makan rumah Ibu. Kebetulan, Ibu sedang keluar. Jadi, aku bisa dengan bebas menginterogasi kisah masa lampau nenek. Dan jika sampai nenek menggantungkan ceritanya, alias tidak sampai ending, telah kupersiapkan pistol mainan untuk kutodongkan ke depan dadanya.
"Terus bagaimana, Nek? Apakah nenek kemudian putus begitu sama si bule itu?" Pertanyaanku menggebu, siap kembali mendengarkan kisah hidup nenek di zaman penjajahan Jepang.
Walau usia nenek sudah sangat uzur, kuterka usianya mungkin sejajar dengan Ratu Elizabeth II. Yah, sama-sama di angka 90. Angka usia yang cukup fantastis. Jarang-jarang ada manusia bisa merangkakkan umurnya ke titik itu. Paling-paling biasanya orang-orang berusia 70 tahun sudah pada mundur dari dunia kejam ini.
Nenek gemar sekali makan sayuran. Terutama kembang turi, buah manisa kukus, dan tomat rebus. Wanita beranak tiga itu juga suka sekali minum susu kambing dan belum pernah sekali makan mie instan. Entah, lidah nenek mungkin sudah bawaan lidah orang kuno. Pernah kutawari pitza atau ayam krispi dari resto, dia menyentuh saja ogah. Dia paling anti makan makanan junk food.
Wajar, umur nenek bisa sepanjang itu. Beda sama wanita masa kini, sedikit-sedikit go food, sedikit-sedikit makan di mall.
Raden Ayoe Oetami mengangkat pelan gantelan cangkir. Dia hirup dulu sebelum teh anget itu mengguyur lehernya yang telah keriput. Begitu pula ketika mau menelan makanan, nenek terbiasa mencium aromanya terlebih dulu. Konon, supaya lidahnya lebih peka merasakan makanan.
Nenek kembali membuka tirai pentas tua dari zaman Belanda-Jepang. Aku adalah satu-satunya penonton yang setia menyimak adegan per adegannya.
Dalam bahasa Jawa aksen Malang, nenek meneruskan cerita yang artinya kurang lebih begini:
"Tolong, kamu jauhi guru SR-mu itu, Ayoe!" Van der Ham mencegahku latihan bela diri di rumah Kang Poer.
"Kenapa?" tanyaku penasaran, Van der Ham bukan lagi menaruh perhatian padaku, melainkan sikapnya seperti seorang suami yang mengekang gerak seorang istri.
"Kamu akan seperti perempuan-perempuan lain. Kau mau jadi penghuni bordir? Atau jadi ianfu?"
"Ianfu?"
"Yah, menjadi budak nafsu para tentara-tentara Jepang," jelas Van der Ham dengan raut muka tegas. Berulang kali dia menyilang langkahku untuk ikut bergabung bersama kelompok wanita binaan Kang Poer.
Dadaku mengembang mengeluarkan napas. Sepertinya, masuk akal juga. Toh, aku sebentar lagi akan menjadi istrinya Panji Mangunharjo. Lebih baik aku memperbanyak diam saja di rumah, daripada setiap hari dipanggang terik, latihan bela diri di bawah pengawasan ketat tentara bermata sipit.
Namun, masalahnya kini adalah; bagaimana caranya supaya aku berjarak dari Van der Ham dengan aku tidak sampai menggores hatinya? Yang jelas, laki-laki Belanda itu hingga detik ini, belum tahu bilamana aku sudah mengikat tali asih dengan Panji Mangunharjo. Aku sendiri yang sebenarnya salah, mengapa membuka pintu harap padanya. Harusnya aku jelaskan di awal pada pria Londo itu, bahwa aku telah dimiliki oleh seseorang. Tetapi, sudah terlambat. Semua ini tersebab ketidaktegasanku pada awal dulu kepada kumbang-kumbang yang datang. Sampai pada Van der Ham. Hingga aku merasa nyaman saja berkawan dengannya. Ada perasaan senang dan decak riang saat aku didekatinya. Ada rasa gemah bahagia di dada. Ada rasa bangga tiada kira.
Siang itu, aku seperti biasa, menikmati teh di belakang rumah. Di atas amben kami mengobrol sembari mengawasi perkebunan sawi yang hijau menyegarkan.
Tak lama kemudian, dari depan rumah terdengar suara ringkik kuda. Aku hafal betul itu kuda milik siapa. Aku langsung kelagapan. Van der Ham langsung aku suruh meringkuk ke dalam gentong kosong di dapur untuk bersembunyi sebelum mala petaka pecah.
"Tolong kamu sembunyi! Bapak datang. Kalau sampai kita ketahuan berduaan, bisa digantung leherku di bawah pohon asam."
Van der Ham yang memang dari awal selalu ditolak kedatangannya oleh bapakku itu, menurut saja mengiyakan perintahku. Dia meringkuk di dalam gentong berukuran besar bekas wadah gabah.
Dari situlah aku mulai menenun kebohongan ringan yang ternyata berimbas besar ke dalam sejarah kehidupanku.
Bapak aslinya belum datang, dia masih semedi di gunung Kawi. Yang memasuki rumah sebenarnya adalah Mas Panji Mangunharjo bersama Ibu. Sebelumnya, hubungan Ibu dan Mas Panji sudah terjalin akrab. Mas Panji adalah kawan Ibu dalam perniagaan wortel untuk dijual ke Malang. Jadi, Mas Panji sudah terbiasa makan atau kadang mandi di rumah kami.
Ibu dan Mas Panji masuk ke ruang dapur. Dadaku seperti menahan meriam. Atau sedang menahan sebuah laras panjang yang mulai mengeluarkan asap di depan bola mataku. Berusaha Mas Panji aku ajak untuk duduk di balai-balai saja. Sementara, Ibu aku paksa biar istirahat. Biar untuk sup ayam wortel kesukaan Mas Panji aku yang olah.