Arwah Cinta Van der Ham

Ikhwanus Sobirin
Chapter #30

Kutukan

"Sama halnya Mpu Gandring menyisipkan kutukan pada keris yang ia buat sendiri. Ken Arok dan anak cucunya pun benar-benar terbunuh oleh keris yang sama."

๐Ÿ‚๐Ÿƒ๐Ÿ

"Ayolah, kita ke makam Ayah, Buk!" Kali ini aku benar-benar membujuk Ibu supaya mau mendatangi pusara Ayah. Bertahun-tahun sudah semenjak Ayah tiada, tak pernah sekali pun Ibu berziarah.

"Yang penting,ย tiap tahun kita sudah selamatan,ย Nduk. Insya Allah doa-doa nyampek di sana. Yang penting tahlilnya rutin pas haulnya insya Allah pahalanya nyampek."

Beda sekali dengan nenek yang rajin menyambung perasaannya pada Van der Ham. Ibu seolah melupakan Ayah. Seolah Ayah tidak pernah ada. Tidak pernah dia kenal. Padahal, dua cabang pertama warung kami, aku tahu sendiri sukses berdiri atas perasan keringat dari ayah dan ibu bersama-sama saat badai kejam itu belum datang menyerang.

Badai kejam? Yah, sebuah badai yang telah meluluh lantakkan istana dan seisinya yang harusnya tetap kokoh sampai di hari tua.

Tetapi, masing-masing babak kisah umat manusia berbeda-beda. Ibu lebih memilih memutus tali suci yang telah mereka bina susah payah. Tali itu putus. Bukan tanpa alasan, seorang wanita merasuk ke dalam istana indah. Wanita itu kemudian menjadi peri penyihir. Dia merongrong tiap dinding dan sudut-sudut rumah cinta. Hingga jiwa Ibu menjadi rapuh. Satu ketuk palu hakim di pengadilan agama, menjadi hari terakhir hubungan Ayah dan Ibu.

Tak lama dari keruntuhan rumah tangga, beberapa tahun kemudian, Ayah mengembuskan napas terakhirnya karena terserang penyakit kencing manis kronis.

"Aku menerima semua kemauan, Ibu! Aku menerima perjodohan dengan Iqbal yang apakah Ibu tahu penderitaan Sekar seperti apa? Apakah Ibu tidak punya sedikit pun perasaan empati pada Sekar? Ingat Bu, kita sama-sama perempuan!" Mendadak irama bicaraku mengarah pada amukan. Sudah sangat kesal rasanya berdiam diri dalam ruang kesabaran. Di saat semua kemauan Ibu aku turuti, tetapi mengapa satu keinginanku untuk memaafkan Ayah seperti tak pernah Ibu beri pintu.

"Kamu ngomong apa yah, Sekar? Kamu sangat beruntung bisa menjadi menantu kiai ternama di Jawa Timur. Tetapi, kenapa kamu malah tidak bisa mengubah diri?"

"Mengubah diri bagaimana maksud Ibu?!" tanyaku merespon Ibu yang malah membelokkan topik pembicaraan.

"Apa kamu masih belum sadar, Sekar? Kiai Fuad itu kiai alim. Santrinya ribuan. Pondok pesantrennya terbesar ketiga di Jawa Timur."

"Terus apa masalahnya?!" Aku memotong kalimat Ibu yang sudah mencapai membara. Ibu terkenal sabar, namun jika tanduk sudah menyala terang di atas kepalanya, alhasil udara terasa sumuk tak karu-karuan.

"Kamu memang gini, yah, Sekar! Tidak ada unggah-ungguhnya sama orangtua. Selalu saja kalau ngomong, ngeyel! Suka memotong pembicaraan!"

Aku menekuk bibir. Mengangguk-angguk mencoba meredam amarah. Mencoba menurunkan posisi silang tangan dari pinggang. Lalu aku memilih membuka pintu kulkas. Menarik sebotol minunan bersoda dari rak paling bawah, kemudian kutuang segarnya ke dalam gelas kaca bundar.

Ibu masih tetap kaku, menegakkan punggung lebarnya di tepi meja. Dia meneruskan omelannya.

"Kamu tidak pernah mau merasakan sedikit pun perasaan Kiai Fuad, bagaimana ia menahan malu sampai sekarang, punya mantu tidak mau berjilbab seperti kamu. Punya mantu yang selalu berpenampilan terbuka."

"Loh, bukannya Ibu juga tidak berjilbab? Ke mana-mana kalau keluar cuma pakai konde? Kenapa Ibu menyalahkan Sekar saja?" Aku kembali merangkai pembelaan.

"Ibu sudah tua. Ibu bukan pula menantu Kiai."

Lihat selengkapnya