"Air duka mengalir melewati lembah tak bertepi. Penderitaan ibarat labirin tanpa ujung."
🍂🍃🍁
To: Ayah
Kau telah terbujur hening di dalam tanah, jiwamu entah berada di mana tepatnya. Aku hadir membawa karangan doa. Juga seikat rindu yang membuncah. Ayah, aku tak mengerti mengapa ini terjadi. Kukira ayah dan ibu adalah kesatuan kasih sayang yang tak terpecahkan. Tetapi entah, mungkin ini sudah takdir yang tergariskan.
Ayah, aku rindu. Ingin bertemu. Sudah banyak kisahku terlewat tanpamu. Aku ingin menceritakan padamu wahai, Ayah.
🍁
Sepulang dari menziarahi Ayah, seperti biasa aku kembali ke dapur. Ke cabang Panderman. Bergulat dengan asap, wajan, sutil, dan memastikan tumbukan bumbu pecel tercampur merata menciptakan aroma dan rasa.
"Gula merahnya tadi apa sudah ditakar, yah, Bu?" tanyaku kepada Bu Iyah, salah seorang karyawan bagian penumbuk bumbu. Di semua cabang Warung Pecel Bu Ayu sudah disiapkan tumbukan yang terbuat dari batu dan alu (penumbuk) dari kayu asam. Jadi, dari awal usaha pecel masih di tangan nenek, bumbu selalu tersaji segar setiap harinya. Ditumbuk hari ini, disajikan ke pelanggan hari ini juga. Tanpa digoreng lagi dengan minyak. Sehingga bumbu pecel Warung Pecel Bu Ayu benar-benar fresh.
Kacang tanahnya kami ambil asli dari daerah Tuban, menjadi pilihan fanatik bagi kami. Tidak bisa diganti dengan jenis kacang tanah dari tempat lain. Itulah salah satu kunci mengapa cita rasa pecel Bu Ayu begitu tersohor hingga beberapa kali masuk berita website kuliner. Kacang tanah Tuban yang manis memang paling cocok sekali dibikin bumbu pecel.
Bu Iyah akhirnya menjawab singkat setelah beberapa detik melamun. "Sudah, Neng."
Mendengar jawabannya, aku merasa kurang puas. Rasa gula merahnya seperti kurang gurih. Bu Tina, petugas tumbuk lainnya, meyakinkan kalau takaran gula merahnya benar sudah sesuai.