"Terlalu banyak luka tertoreh di dada. Tetapi aku masih bisa menutupinya dengan tabir kepura-puraan."
🍁🍁🍁
Cahaya fajar yang lembut baru saja menyingsing. Kumandang Subuh telah lesap beberapa detak detik lalu. Dalam menggapai mimpi menjadi nyata butuh pengorbanan. Harus ada tekad menggebu-gebu dari dalam jiwa dan anti pada yang namanya malas-malasan. Itu semua menjadi tiket masuk pada sebuah wahana kesuksesan. Harus ada jerih payah yang dibayar hingga lunas. Seperti keluargaku ini, setiap pagi buta, bahkan berbarengan dengan suara pertama kokok ayam, kami sudah berperang melawan rasa kantuk yang teramat berat, serta membunuh hawa dingin yang biasa terjun dari lereng gunung Panderman membekukan gerakan para manusia di bawahnya. Akan tetapi secara umum masyarakat Batu dari zaman dulu sudah terkenal menjadi pekerja keras; sehabis ibadah Subuh, mereka sudah terbiasa bergegas pergi ke ladang; menanam wortel, merawat apel, dan aneka sayur mayur.
Mata baru tersingkap dari atas segulung kasur empuk. Setelah dua kelopak mata ini kiranya cukup terbuka, aku langsung menuju kamar mandi, membasahi diri, mengusir paksa rasa kantuk. Beruntung, kamar mandi kulengkapi dengan water heater, jadi aku tidak lagi mandi dengan air es, melainkan air hangat yang terasa nyaman memijati badan.
Selepas memanjakan tubuh dengan pijatan air hangat, teh panas aroma melati dan roti bakar membantu mengganjal kempisnya lambung.
Selain di dapur dan di ruang utama restoran, kadang ketika di luar mulai terik, aku kembali pulang ke rumah. Di rumah bersama Surti mengurusi tetek bengek administrasi operasional Warung Pecel Bu Ayu. Begitulah, setiap harinya yang kulakukan.
Di luar, udara cukup keruh seperti diselimuti kabut tipis. Kupandang panorama timur belum tampak sedikit pun tanda-tanda matahari akan muncul. Betul-betul pagi masih bayi. Aku pun menggegas langkah menuju Warung Pecel Bu Ayu cabang Panderman. Surti masih asyik menyemai mimpi dalam tidurnya. Nanti sekitaran pukul 7 pagi, dia baru akan membuka laptop, bekerja. Sedangkan Ibu, dia sudah pasti berangkat ke cabang Jalan Panjaitan, dan paman pergi ke cabang Rampal.
Kemudian, sebagai rutinitasku setiap hari, juga sebagai tugas, aku menelepon semua kepala warung di cabang lainnya. Biasanya aku memastikan kepada mereka bahwa dapur Warung Pecel Bu Ayu siap mengepul dan operasional warung siap buka jam 8 nanti.
Setengah berlari menuju dapur. Bersama Yetti, aku mulai menyiapkan daging untuk diolah menjadi empal gepuk. Yaitu salah satu menu penyanding nasi pecel yang terkenal gigitannya empuk, sobekannya lembut, dan rasanya gurih.
Pada sesi satu. Lima kilogram daging dari freezer yang sudah terpotong menjadi 10 bagian, aku masukkan ke dalam panci presto yang telah penuh letup-letup air. Sementara, Yetti mulai menekan tombol blender mencincang habis bumbu yang terdiri dari bawang merah, bawang putih, jahe, pala, merica, ketumbar sangrai, dan kemiri. Wah, nengapa ketumbarnya disangrai segala? Yah, supaya gurihnya bisa lebih nendang keluar.