"Asap dari neraka bergumpalan di langit angan dan di daratan kenyataan."
🍂🍃🍁
Nasi pandan wangi baru akan aku tuang ke sebuah piring. Timun rebus baru beberapa detik lalu kupenyet bersama bumbu kacang. Aroma ayam kampung goreng, baru saja bersemayam tenang di hidungku. Lengking suara Surti merusak semua. Punggung yang aku sandarkan ke kursi empuk ini, kembali kutegakkan selurus badanku yang terjingkat.
"Ada apa, sih?!" Aku mengembalikan centong nasi ke sisi magic com.
"Bahaya, Neng! Bahaya!" Surti mangap-mangap seperti orang berdemo di pinggir jalan.
"Bahaya kenapa?!" tanyaku memasang muka tegang, pagi-pagi sudah dibuat heboh si Surti.
"Ada customer ngamuk-ngamuk," jelas Surti dengan ekspresi ketakutan.
Dua alisku bergandengan rapat. "Ngamuk-ngamuk bagaimana?!"
"Bumbu pecelnya banyak rambut!" beber wanita bersuara banter ini. Dia menarik tanganku menjauhi meja makan.
"Sebentar!" Aku memutus tanganku dari lingkaran tangan Surti. Tergopoh-gopoh meraih tudung saji di sudut dapur. Lalu, dengan gerakan kilat, aku tutup lauk pauk dan sayur yang berupa penyetan timun, ayam goreng, mendol tempe, dan pepes tahu itu. Lanjut keluar rumah sampai lupa tidak mengunci pintu.
Setiba di lokasi, aku telah mendapati seorang konsumen bapak-bapak gendut bermuka merah padam. Terjadi perdebatan sengit antara Pak Suwoyo kepala warung cabang Panderman dengan si pelanggan.
"Sekali lagi, kami mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Pesanan nasi pecel berlauk empal akan kami ganti. Tetapi, tolong kaca meja yang Bapak pecahkan, mohon Bapak juga ganti rugi."
"Yah, tidak bisa! Kalian sudah berbuat kurang ajar pada konsumen! Kalian bisa saya tuntut! Konsumen dilindungi undang-undang. Pokoknya, saya minta pertanggungjawaban!" Si konsumen berkaos putih dengan butiran keringat tebal di lehernya itu mengadu otot.
"Bapak sudah kami kasih yang terbaik! Tanggung jawab kami mengganti makanan, Bapak. Kalau Bapak masih belum berkenan, semua pesanan tiga piring pecel special, teh special, dan semua rempeyek yang telah bapak pesan bersama keluarga Bapak, kami ganti semuanya, gratis!" Pak Suwoyo memberi pilihan terakhir. Seperti ketentuan di Warung Pecel Bu Ayu, apabila ada kesalahan dalam pelayanan makanan, entah dari cara penyajian atau ada rasa yang tak sebagaimana mestinya, konsumen berhak mendapatkan santapan tanpa membayar sepeser pun.
"Eh, kamu ngremehin saya?! Mbok kira saya ini gembel? Kesini cuma ngemis makanan gitu? Maaf, yah. Kalau saya disuruh beli semua menu di sini pun, saya mampu, Mas! Jangan seenaknya memperlakukan konsumen seperti ini! Akan saya tuntut kalian semuanya!" Amarah si bapak-bapak ini tak kunjung mereda. Telunjuknya menuding nyaris muka karyawan yang melihatnya.
Tak lama kemudian aku memajukan langkah ke dekat amarah si konsumen.
"Siapa pemilik rumah makan ini?! Panggil dia?!" lanjut si bapak ini masih dalam kepungan asap merah penuh emosi.
"Saya pemiliknya," pelanku menjawab dari balik punggungnya yang besar.
Si konsumen keras ini menoleh. "O, kamu pemilik rumah makan kampungan ini?!"
"Iya, betul. Saya pemilik rumah makan kampungan ini. Tapi mohon maaf, oleh karena rumah makan ini kampungan, maka hanya orang-orang kampungan yang mau makan di sini." Emosiku berubah drastis. Yang semula pembawaanku sudah kupersiapkan untuk bersikap ramah ke customer, mendengar dia malah ngelunjak dan berintonasi menghina, otomatis aku tidak terima. Mukaku pun ikut menyemburkan kemurkaan.
"Eh, sombong sekali omonganmu, yah?! Pantesan warungmu sepi begini. Pantesan attitude karyawanmu nggak ada yang bener. Pantesan sambal pecelnya jorok ada rambutnya."