Arwah Cinta Van der Ham

Ikhwanus Sobirin
Chapter #34

Jalan Menuju Cahaya

"Tidak ada kata terlambat menuju jalan kebaikan. Karena cinta-Nya abadi sepanjang zaman."

πŸ‚πŸƒπŸ

Janin di rahimku serasa makin melembung saja. Bertumpuknya minggu, bobotnya kian bertambah. Aku bimbang harus bagaimana? Kesempatanku seperti telah kedaluarsa. Aku tidak mau ambil risiko lebih berbahaya lagi. Kiret janin yang sudah berusia empat bulan, merupakan pilihan terburuk. Aku takut imbas dari cara ilegal itu, Tuhan akan mengutukku menjadi wanita tak subur. Ah, aku tak mau itu terjadi. Biarlah sementara adegan buruk dari sebuah sinetron terjadi nyata dalam kehidupanku. Cerita seorang istri yang mengandung bayi dari benih kotor.

Kini pikiranku bersemedi keras. Kemudian, kata-kata di sel sarafku menguntai kembali menjadi omongan untuk kemudian kusampaikan pada Mas Iqbal, lelaki sahku yang kini dia tengah berada di kota Surabaya.

Tentang janin di rahimku. Yah, aku berusaha keras mengingat saat-saat dia sebagai kumbang jantan, dan aku sebagai putik bunga pada sebuah malam. Mengingat-ingat detail tiap adegan saat kami saling tukar menukar cinta secara ragawiah. Memoriku akhirnya berhasil menangkap tidak ada ekspresi puncak kejantanan darinya. Hanya beberapa menit saja dia berusaha keras melawan penyakit yang paling pria benci itu. Setelah itu, dia beranjak begitu saja, lalu membiarkan diriku mendengus dalam selimut kekecewaan.

Hitungam berapa kali kami bercinta secara biologis memang bisa dihitung dengan sebelah jari. Jarang sekali. Lantaran diapun memang jarang datang melunasi batinku. Sekadar menghadiahiku desah kehangatan pun nyaris cuma sekali dua kali. Ah, benar-benar sosok pria yang beku.

Konsultasi ke dokter kandungan lantas menjadi alternatif selanjutnya. Aku berhasil mendapatkan sebuah alibi. Kata Bu Dokter, kehamilan bisa saja terjadi walau tanpa penetrasi. CairanΒ pra-penetrasi pun bisa saja mengandung benih lelaki. Sehingga, pembuahan antara sel lelaki dengan ovum pun, bisa saja terjadi atas kehendak-Nya.

Dan, aku akan berusaha menjelaskan itu semua kepada Mas Iqbal, apabila nanti dia mempertanyakan; mengapa aku bisa mengandung padahal fakta dia belum pernah sekali pun membuahiku secara purna.

Jika Mas Iqbal sekata seiya denganku, amanlah sudah posisiku. Namun, semisal nanti ternyata si jabang bayi lahir kemudian wajahnya malah mirip si Darmawan? Nah, itu akan menggejolak menjadi problematika baru. Nah, bagaimana jika mulai saat ini aku rajin-rajin saja mengaji surat Maryam? Yang konon kata orang-orang percaya jika ibunya rajin melantunkan ayat-ayat suci dari surat Maryan, si janin kelak jika berkelamin perempuan, wajahnya akan mirip dengan ibunya. Dengan itu, semoga rencanaku berhasil.

🍁🍁🍁

Matahari tepat tegak lurus dengan tubuhku yang terpaku di depan sebuah gapura besar. Gapura berwarna hijau muda melintang dan kanan kirinya serupa ditarik dua sisi pagar hitam besar.

Pondok Pesantrean Darus Salam Wonokromo Surabaya.

Sebuah tulisan kapital menyambut kedatanganku.

Sebelum jiwa ragaku benar-benar memasuki tempat yang membuat batinku bergetar; apakah tempat ini surga? Ataukah neraka bagiku, aku terlebih dahulu menarik napas dalam seraya membenahi poni panjangku. Kain kerudung dengan aksen bunga warna putih melingkari kepala, menutupi ubun-ubun hingga telinga saja, tidak terlalu tertutup seperti model jilbab santriwati di sini.

Seorang lelaki tua bersarung kotak-kotak menyapaku. Senyuman semringah dan hangat. Lelaki itu tampak menyangking cikrak berisi kumpulan dedaunan kering yang biasa tercecer merata di halaman jembar depan masjid ini.

Cericit burung beo memberitahu tuannya bahwa ada seseorang mulai menginjakkan kaki di depan rumah sederhana tetapi tampak besar jika dilihat dari depan ini. Rumah bercat seputih susu. Pintu dan jendela bagian depan tidak langsung nampak karena tertabir anyaman dari bambu. Sedang, di sebelah kiri rumah itu ada pintu masuk khusus para tamu wanita.

Teleponku tersambung dengan Mas Iqbal ketika aku masih sampai di tol Waru tadi. Dan kini, saat kakiku sudah mulai mendekati pintu tamu wanita, Mas Iqbal muncul dari balik pundakku.

"Itu pintu masuk untuk tamu. Abah menganggap mantu itu sebagai anak. Masuklah lewat depan," sapa Mas Iqbal menyambutku dengan senyuman lebar. Mata kecilnya kulihat tak berubah bersama lensa bulatnya. Kulit wajahnya masih tetap putih dan bersih. Namun sekilas, bagian pelipisnya agak mengelupas kemerah-merahan.

"Kamu habis pakai cream apa, Mas? Mukamu bisa begitu?" tanyaku, jiwaku seperti pisau dibakar hingga merah, kemudian dicelupkan ke air es. Nyes! Tiba-tiba adem sekali. Aroma-aroma ketenangan kucium. Aroma yang membuat jiwaku sejuk, merasa ikhlas sekaligus pasrah. Suasana ketenangan terasa betul saat aku mulai memasukkan kaki ke kawasan religi ini. Barangkali daerah pesantren memang bisa sesejuk ini lantaran ayat sucinya sering mengalun dari segala sudur bilik asrama santri.

Aku bagai sebuah kotoran kering yang baru saja dimasukkan ke dalam sebuah kulkas bersih.

"Mm, aku nggak pernah pakai cream." Mas Iqbal kembali menggulung senyum padaku setelah beberapa saat membisu.

Lihat selengkapnya