Arwah Cinta Van der Ham

Ikhwanus Sobirin
Chapter #35

Bintang pun Jatuh

"Takdir telah tersurat. Kapan selembar daun gugur telah tertulis."

🍂🍃🍁

"Jodoh, maut, dan rezeki sudah ada yang mengatur. Kita tinggal bergerak saja, menjemput, menjalaninya," tutur Mas Iqbal sembari menuangkan sayur asam dari panci ke mangkok putih yang tepat berada di depan pandanganku. Sementara, dua entong nasi putih telah menggunduk di tengah-tengah piring yang telah dilengkapi dengan sendok dan garpu.

"Insya Allah aku betul jodohmu. Dan sayur asam ini adalah rezekimu hari ini. Makanlah yang banyak. Aku tidak khawatir kamu gemuk," lanjut Mas Iqbal menyiramkan muka semringahnya ke arahku.

Gema hati masih tak percaya, bagaimana bisa lelaki kaku ini tetiba saja lentur, hangat, laksana dia memperlakukanku bak ratu?

"Kamu olah sendiri makanan ini? Atau santrimu yang memasak?" Akhirnya, aku menyeletuk kata setelah sekian detik penglihatanku fokus ke sayur asam.

"Coba komentari, sayur asamnya kurang apa?"

Semangkuk sayur asam yang menurutku benar-benar special. Isinya terlihat komplit. Jika suamiku ini serius dia sendiri yang menyiapkan semua ini akan aku jadikan dia lelaki pilihan dalam sepanjang hidupku, dan aku tak akan pernah lagi mematahkan hatinya, aku akan menciptakan mekar-mekar kebahagiaan padanya. Dia akan aku jadikan tanaman berbunga yang aku rawat setiap waktu dengan sepenuh hati.

Kuahnya keruh. Tanda asam jawa yang dia pakai benar matang. Kuhirup uapnya yang sedikit masih mengepul. Aroma laos ikut terbang hinggap ke indra penciumanku. Lantas kuambil kuahnya sesendok dulu. Kuseruput pelan. Langsung muncul rasa manis gurih.

"Pintar masak juga yah kamu, Mas," pujiku, bibirku menyeringai bangga. Tatapanku kembali memaguti wajahnya yang putih, yang kini dia topang dengan dagunya.

"Aku belajar semua ini demi kamu. Terlalu singkat mengenalmu hanya dalam masa setahun dari hari aku berjanji di depan penghulu. Sekarang, insya Allah kamu mendapatkan lelaki yang pintar masak sesuai kriteriamu."

"Kamu pernah ngepoin Facebook-ku, yah?!" tanyaku curiga Mas Iqbal pasti telah meninvestagi profilku yang berisi bio bahwa aku ingin punya suami pintar masak.

"Aku suamimu. Tidak ada rahasia seorang istri bagi suaminya."

"Its oke. Lelaki yang pandai memasak memang lelaki idaman, yah."

Rasa kagum melangit bersama puji syukur luar biasa pada Sang Penulis Takdir. Posisiku sebagai orang kedua di hati Mas Iqbal seakan terkubur oleh rasa kagumku kepada lelaki suci ini. Aku mendadak menganggapnya begitu. Pas awal bertemu dulu, di kamar yang penuh akan bunga, aku telentang pasrah di balik punggungnya. Menunggu dia menuntaskan doa di atas sajadah. Ketika itu, dia tampak gagah sekali. Memakai kopyah hitam dengan rambutnya tercukur rapi. Pundaknya yang dempal dibalut baju koko warna putih susu. Kegagahannya maksimal akan tambahan sarung kotak-kotak yang dia kenakan. Ah, kala itu hatiku terasa ayem sekali. Dan kini aku ingin mengulangi momen itu lagi. Aku makmum di belakangnya. Kemudian, selepas salam, keningku dia kecup mesra. Aku menyambung menarik tangannya, menciumi telapak tangannya dengan penuh cinta. Masya Allah, indah sekali bukan?

"Kebiasaanmu tidak pernah berubah. Tetap saja suka melamun," cetus Mas Iqbal, gerakan tangannya sambil membukakan sebuah bungkusan daun.

"Apa itu?" tanyaku sambil menangkap aroma wangi yang cepat menggelitiki hidungku.

"Coba kamu nikmati pepes buatanku, pasti berbeda rasanya," jelas Mas Iqbal menyodorkan satu menu berbungkus daun pisang padaku.

"Wah, pepes tongkol belimbing wuluh?! Ini kamu Mas yang buat?" seruku menyaksikan potongan belimbing wuluh berpadu dengan bumbu kemiri dan daun kemangi membalut daging tongkol kemerahan.

Aku iris-iris pakai garpu dan sendok.

"Sudah aku bilang, siang ini adalah siang special buatmu." Senyuman manisnya kembali merekah bak delima matang.

Kepalaku geleng-geleng bangga padanya. Ternyata, selama ini dugaanku keliru. Kukira mempunyai suami yang lihai memasak adalah sebuah kemustahilan, ternyata Tuhan punya rencana lain. Pantas saja di meja kamar Mas Iqbal tadi banyak buku resep masakan. Ada buku resepnya Ibu Sisca Soetomo dengan resep masakan tradisionalnya. Ada juga tadi sempat kulirik menu masakan ala Bapak William Wongso. Sepertinya, Mas Iqbal benar-benar serius belajar memasak ketika waktu tak sedang bersamaku.

"Wah, setiap hari kita jadi akan sering-sering masak bareng nih, Mas," tukasku sambil memilih-milih isian sayur asam untuk aku tuang ke atas nasi. 

"Siap, Dik," lontar Mas Iqbal seraya menatapku ceria. Tatapannya lumer, manis, dan sedap seperti sayur asam buatannya ini. Sayur asam buatan suamiku ini boleh aku masukkan ke dalam kategori sayur asam khas Jakarta, lantaran isiannya ada buah melinjo dan kacang tanah muda. Campuran terasi makin menambah kegurihan. Segarnya asam jawa berpadu bersama sepatnya daun salam yang khas. Aku terkenyang-kenyang dibuatnya.

Lihat selengkapnya