Arwah Cinta Van der Ham

Ikhwanus Sobirin
Chapter #36

Kematian dan Kopi

"Kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti akan menemuimu. Kemudian, kamu akan dikembalikan kepada-Nya yang mengetahui hal yang gaib dan hal yang nyata. Lalu, Dia akan memberitahumu tentang apa saja yang pernah kamu kerjakan selama di dunia." (Intisari Surat Al-Jumuah ayat 8)

🍂🍃🍁

"Innalillahi wainna ilaihi rajiun." Mulutku bergetar sambil tanganku mengelus-elus dada. Aku terpegun seorang diri di dalam kamar. Kekagetan menggeranyangi urat-urat syarafku semenjak beberapa menit lalu kabar menggemparkan itu menyebar dengan cepat dari kamar pojokan.

Mas Iqbal langsung mengurusi jenazah almarhumah.

Aku mengintip keadaan di luar kamar dari balik kelambu. Beberapa santri putri dan keluarga dekat Mas Iqbal mulai berduyun-duyun datang. Sepertinya, aku juga kudu lekas-lekas berganti baju sekaligus mengenakan kerudung ikut berkumpul di ruang utama.

Tak kusangka-sangka, secepat ini Siti meninggalkan dunia fana ini. Dunia yang memang sementara. Dunia yang ibarat dahan tak rapuh yang dihinggapi sementara oleh para burung. Secara pribadi, aku sudah menerka kalau usia wanita itu tidak akan lama lagi. Tertanda dari kondisi tubuhnya yang kian melemah dan daging membaluti tubuhnya makin habis digerogoti monster ganas bernama kanker serviks.

Satu embusan napas dalam-dalam, memberanikan diriku keluar kamar.

Jenazah almarhumah terbujur kaku di atas amben yang diletakkan tepat di tengah-tengah ruang tamu. Dikelilingi santriwati bermukenah putih. Mereka menguntai ayat-ayat al-Quran dengan nada rendah nan serempak. Mas Iqbal kulihat sibuk menerima telepon dan berkoordinasi dengan beberapa orang yang sepertinya dari tukang gali kubur.

Aku ikut menyambut para pentakziah perempuan yang beramai-ramai datang. Mereka kami persilakan duduk di atas karpet tebal yang terbeber mengelilingi jasad Siti. Sementara, Kiai Fuad, mertuaku itu, tampak menerima tamu di halaman depan masjid. Ibu Nyai Fuad berkelebat di dapur mengurusi sajian makanan dan minuman untuk para tamu.

Beberapa saat kemudian, tubuh yang kulihat kulitnya telah membiru digotong keluar menuju tenda pemandian. Selaras dari itu, Bu Modin sang juru perawat mayat, membeber kain kafan lima lapis di atas amben lengkap dengan kapas dan tali pocongnya. Setelah Siti nanti dimandikan, dia akan dibungkus. Kemudian, dimasukkan ke keranda berwarna hijau. Diantar selanjutnya ke kubur. Ah, sesingkat itu perjalanan hidup Siti.

Sulit kurasakan bagaimana perasaan Siti selama ini. Namun memang inilah perjalanan kehidupan asmara manusia. Harus ada yang dikorbankan demi sebuah cinta. Bahkan mengorbankan hati sendiri. Aku teringat betul derai air mata Siti ketika aku baru mengetahui kalau ternyata diriku hanyalah seorang madu. Madu dalam arti orang kedua di hati seorang lelaki. Bahkan, amarahku memuncrat-muncrat seolah meludahi Ibu yang telah sukses memainkan semua sandiwaranya. Ibu dan keluarga Kiai Fuad sudah tidak jujur padaku sejak awal.

"Tidaklah seorang Muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan menggugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon menggugurkan daun-daunnya. Semoga Allah mencuciku bersih atas ini semua." Suara lemah Siti kusimak dari belakang punggung ringkihnya suatu kala sebelum tubuhnya benar-benar jatuh ke titik paling lemah. Sementara, dadaku naik turun menahan didihan darah. Aku ingin memecahkan barang-barang di sekitarku. Tetapi, kalimat per kalimat dari Siti sedikit demi sedikit meredam asap kemurkaan.

"Mbak," pelannya, dia memutar roda kursinya. Berbalik menatapku yang membeku di belakangnya. Tanganku masih menggumpal mangkel. Napas masih berembusan cepat tak terkendali.

Lihat selengkapnya