Arwah Cinta Van der Ham

Ikhwanus Sobirin
Chapter #37

Es Campur

"Roda kehidupan berputar, kadang di atas kadang di bawah. Takdir baik dan buruk bergulir dan bergilir."

🍂🍃🍁

Aku tercenung di depannya. Di depan wajah yang segar menyejukkan jiwaku. Nyaris es campur buatanku sendiri tak kunjung aku sentuh sampai es batunya secara bergilir mencair sempurna.

"Kamu lagi mikirin apa, Dik? Dari tadi melamun aja." Lelaki berkulit putih bersih ini lantas merengkuh tanganku dengan sentuhan lembut.

"Tidak mikir apa-apa, Mas," balasku singkat. Potongan tape singkong tampak mengambang di tengah kuah berwarna merah muda. Aku coba cuil-cuil sedikit pakai sendok.

"Sudah, jangan terlalu dimasukkan ke dalam pikiran, semua sudah takdir dari atas," pesan suamiku sambil iseng mengambil potongan roti di mangkok es campurku. Lalu, potongan itu dia pindahkan ke mangkoknya.

Batinku seperti sedang dipenuhi balon-balon kegamangan dan perasaan berdosa. Gamang akan kutukan janin di dasar perutku ini, dan rasa berdosaku pada Siti. Aku merasa justru kehadirankulah yang membuat dia terjatuh ke lembah terendah kehidupan. Walau aku tahu sendiri alasannya. Tetapi, ekspresi perempuan mana yang sulit diterka, sesama perempuan pasti mudah memahami; apakah dia benar-benar jujur atau berbohong? Bagiku Siti telah membohongi dirinya sendiri.

Kabar mengejutkan itu mampir ke telingaku dari salah seorang saudara Mas Iqbal sendiri, tentang masalah pelik yang mereka rahasiakan sebelumnya.

Pada mulanya, Siti bergejala rahimnya tandus alias tak bisa menjadi tempat bernaungnya calon bayi yang dia harap-harapkan. Sedang Kiai Fuad dan Bu Nyai Fuad memaksa Mas Iqbal untuk segera menelurkan keturunan demi langgengnya tali keturunan keluarga pesantren. Lambat laun, Siti malah terindikasi gejala kanker ringan. Dari situlah bahtera rumah tangga mereka mulai terkoyak. Mulanya terkoyak biasa, kemudian menggunung dan hingga rusak akar-akarnya.

Kalau aku pikir-pikir, andai ketika itu Mas Iqbal dan keluarganya mendukung penuh Siti, mensuplai energi demi kesembuhan Siti, barangkali kondisi Siti mungkin tak sampai seburuk itu. Tetapi, keluarga Kiai Fuad tidak sabaran, dia akrab sama ibuku, modalnya tertanam di ladang bisnis kami. Alhasil aku diperintahkan maju tanpa tahu lebih dulu kalau Mas Iqbal ternyata sudah berstatus sebagai laki-laki yang telah dimiliki oleh seorang perempuan.

"Penyakit Siti semakin parah karena kehadiranku, 'kan, Mas?" tanyaku tiba-tiba memecahkan suasana yang seharusnya tenang. Mulutku sambil kumasuki kolang-kaling kenyal. Kenyalnya kunikmati bersama desah resah dari dalam benak yang mulai kusadari saat menyaksikan jenazah Siti telah terbungkus kain kafan beberapa hari yang lalu tersebut.

"Sudah, jangan disesali lagi. Tidak ada manusia yang bisa menulis takdirnya sendiri. Tuhan itu ibarat sutradara, dan kita semua ini cuma pemain yang hanya bisa menjalankan skenario-Nya. Begitu 'kan yang sering kamu bilang padaku, Dik?"

Kutarik napas dalam-dalam sebelum potongan roti basah aku kunyah.

Aku yakin Siti berkata ikhlas, kuat, dan dia seolah baik-baik saja. Tetapi satu titik airmata dari seorang perempuan cukup melambangkan seribu tusukan di relung hatinya.

Pikiran-pikiran itu terus mengecamuk hingga es campurku tak terasa nyaris habis.

Lihat selengkapnya