"Jika dibutuhkan, perang harus dipilih demi mencapai kedamaian."
🍃🍂🍁
Satu orang misterius telah mematung tepat di depanku seusai kelopak mataku terbuka pelan beberapa detik lalu. Kepalaku pening tak terkirakan. Linglung. Mumet sekali. Ruangan setengah gelap ini seperti berputar mengaduk-ngaduk isi kepalaku hingga seisi lambung rasanya.
Kusadari tubuhku telah terpasung. Aku melonjak kaget saat tahu ternyata dua tanganku terbelenggu di belakang kursi.
"Ah, di mana aku berada?! Brengsek!" geramku. Mulut ikut tak berdaya. Seikat kain menjerat hingga ke lidah membuatku susah payah berteriak. Aku hanya bisa protes dengan suara tidak jelas.
Sosok perempuan berpakaian hitam dengan penutup kepala berwarna sepadan mendekatkan langkahnya ke arahku. Dia begitu saja menarik penutup mulutku.
"Ahhh!" Aku mendengus lega. "Siapa kau brengsek?! Apa yang kau inginkan dariku?!" lanjutku mengumbar teriakan. Mulutku akhirnya terbebas walau kedua tangan masih tercancang kuat di balik sandaran.
Heran, bagaimana bisa diriku tiba-tiba berada di ruang pengap ini? Gudang lapuk gelap. Bau oli menyenggrak hidung. Ingatan berusaha kudulang dari jepit syarafku paling dalam. Mengingat-ingat kegiatan apa yang aku lakukan sebelum aku berada di tempat terkutuk ini. Terakhir kali, seingatku, aku minum jus duren di teras rumah. Saat itu, sebuah mobil hitam tiba-tiba datang menurunkan beberapa lelaki berbadan besar menujuku. Setelah itu, aku tidak ingat apa-apa lagi. Tahu-tahu badanku telah terikat tak berdaya seperti ini.
Ah! Siapakah perempuan yang menyekapku ini?!
"Siapa kau durjana? Buka tutup kepalamu jika kau benar-benar perempuan pemberani!" tantangku.
"Ha ha ha." Ledak tawa seolah meludahi kehormatanku. Mataku mengernyit saat aku merasa tidak asing dengan suara perempuan ini. Ah, apakah dia?!
"Apa yang kau inginkan dariku?! Lepaskan aku! Kurang ajar! Kalau kau perempuan pemberani, kita duel saja di tengah lapangan! Jangan di tempat persembunyian seperti ini!" tantangku lagi padanya, tanganku bergerak-gerak berusaha terlepas dari tali pengikat yang terbuat dari karet ban ini. Susah sekali melepasnya.
"Kalau kau tidak bisa diam, aku akan membiusmu lagi?" ancam perempuan bertubuh agak kecil ini sambil menyemprotkan zat kimia dari botol spray ke lembaran tissu.
Akan tetapi, dia kemudian malah membuang tissu itu "Ah, jangan. Jangan. Kau, Sekar, kau harus menikmati dulu adegan yang satu ini," lanjut perempuan jahannam ini entah aksi apalagi yang akan dia hadapkan di depanku.
Mulutku kembali dia bungkam dengan tali dari kain tadi. Dibantu seseorang lagi mengencangkan kuat-kuat.
Satu tepukan tangan membawa masuk dua orang lelaki berbadan besar berjaket kulit hitam menenteng seseorang.
"Mas Iqbal?! Mas Iqbaaal?!" histerisku dari mulut tersumpal, membuat si perempuan di depanku memukul kepalaku. "He, bisa diam nggak yah kamu?!"
"Auh!" Aku menahan rasa nyeri di kepala.
Ya Tuhan, apa yang akan dilakukan perempuan bengis ini?
Keringat basah membanjiri leherku. Mas Iqbal turut diculik. Dia lalu ditenteng dua orang berbadan besar menuju sebuah kursi kayu tepat berhadap-hadapan denganku. Gerik suamiku tampak kelimpungan. Dia bergerak sama sepertiku, berusaha melepaskan diri dari jerat ikatan.
"Mas Iqbal?!" panggilku bersuara tidak jelas. Air mataku mulai bercucuran. Entah apa yang akan terjadi pada kami berdua hari ini.
Dalam ikatan mata tertutup, Mas Iqbal kebingungan mencari muasal suaraku.