"Cinta yang tulus akan bermuara ke samudera yang indah setelah melintasi terjal jalan, lika-liku, dan luka-luka."
🍃🍂🍁
Pelan. Kedua kelopak mataku membuka ragu-ragu. Yang pertama kali kupandang sorot lampu begitu silau menghujam mata hingga buatku mengernyit, seperti cahaya pertama matahari menyelinap ke balik selambu pagi.
Aku tekadkan sadar, untuk segera menemukan jawab, aku tengah berada di mana?
"Akhirnya, kamu siuman juga, Neng." Senyum semringah Surti pertama kali menyambut. Disusul suara slop sandal Ibu mendekatiku. "Syukurlah kamu sudah sadar, Nduk." Ibu ikut menyambut senyuman Surti.
Tubuh yang lemah menyisakan ingatan, akan isi perutku. Seonggok janin yang membuatku ingin mati saja. Setelah hari melewati hari, tubuhku bertambah lemas, ceking, dan tidak nafsu makan. Beberapa kali cairan merah segar deras menetes hingga merambat hangat di kaki.
"Apa yang akhirnya terjadi, Sur?" tanyaku dengan suara lemas.
Surti berusaha menjelaskan kalau semuanya memang harus baik-baik saja. "Jabang bayimu menerima takdir lain."
"Tapi apakah dia sudah ada rohnya?"
"Hanya Allah yang lebih tahu, Neng. Tapi kata ibumu, empat bulan usia janin harusnya sudah ada ruhnya."
"Di mana dia sekarang, Sur?"
"Sudah dibawa perawat, Neng."
Ibu membawakan air putih, mendekatkan bibir gelas ke bibirku. "Kamu sabar ya, Nduk. Insya Allah kelak akan diganti bayi yang lain buatmu dan suamimu."
SUAMI?
Otakku langsung berputar kencang ketika aku teringat Mas Iqbal.
"Ibu masih seorang wanita Jawa yang tepat janji dan tidak melanggar sumpah, kan?" Aku menatap Ibu sembari tangan kananku pelan memegangi tangannya. Sementara tangan kiriku terasa nyeri dan kaku. Serasa jarum berukuran besar bersemayam di tengah-tengah urat tanganku.
"Suamimu di Surabaya. Sesuai permintaanmu, sakitmu tidak Ibu beritahu padanya."
Seembus napas lega keluar dari hidungku. Kemudian akhirnya aku melanjutkan menyeruput air putih dari gelas di tangan Ibu.
Maafkan aku Mas Iqbal. Aku sengaja tak mau membuatmu susah. Dan semoga kamu dan Allah memaafkanku atas segala dosa-dosa besarku dan kebodohanku selama ini. Maafkanlah aku, Mas. Maafkan aku.
🍁🍁🍁
Cerah dan teduh seakan tumpang tindih. Saling kejar-kejaran. Awan putih berarakan bersama cahaya hangat dari sang mentari yang sudah agak condong ke barat. Bunyi gemericik air mancur syahdu menenangkan. Sembari menanti kumandang panggilan solat Ashar dari masjid alun-alun Batu mengumandang, kami berdua sejenak duduk di kursi yang tak jauh dari patung buah apel ikonik kota sejuk ini.
Kondisi kesehatanku alhamdulillah lumayan pulih semenjak benih bayi di rahimku keluar sebelum waktunya dengan perawatan luar biasa dari rumah sakit. Kini aku menyambut lembaran baru. Kehidupan baru dan tentu dengan tantangan-tantangan baru.
Mas Iqbal berujar, hidup adalah ujian. Bukan hidup namanya jika tanpa disertai ujian.
"Kamu masih menerimaku, 'kan?" Kalimat ragu kembali berdengung. Padahal, aku sudah berkali-kali meyakinkan Mas Iqbal bahwa kejadian kemarin adalah masa lalu. Masa lalu biarlah berlalu. Yang harus dipikirkan adalah masa depan.
"Kamu masih menganggap dirimu kotor karena ulah menjijikkan dari Dini di gudang dulu itu?" tanyaku sambil memegangi tangan suamiku yang kurasakan empuk dan hangat ini.