ARWAH PENJEMPUT KENANGAN (5 Kisah Misteri di Masa Pandemi)

Darryllah Itoe
Chapter #1

MISTERI RAMBUT PANJANG (Bagian Perdana dari Kisah Pertama)

Aku terbangun dengan dada berdegup kencang. Mimpiku barusan buruk sekali. Seorang perempuan asing berambut panjang secara tiba-tiba membuka pintu kamar pada saat kami tidur. Dalam temaram cahaya kamar, ia menerobos masuk menuju sudut kamar. Tanpa suara. Tanpa tanda-tanda. Namun, ia menghilang begitu mengetahui aku melihatnya. Aku kaget tetapi hanya bisa tertegun. Kulihat istriku, Maura, masih tertidur pulas. Demikian pula Farel. Bayi pertama kami yang masih berusia 9 bulan. Kuraih ponsel di atas nakas. Layarnya menunjukkan pukul dua lewat tujuh menit. Masih dinihari. Aku pun beranjak ke luar kamar. Di ruang tamu, aku menyalakan rokok. Mumpung Maura masih tidur. Karena bila ia tahu aku merokok di dalam rumah, tingkahnya nanti pasti lebih mirip seteruku, ketimbang sebagai istriku. Untuk mengusir asapnya, juga kegelisahan yang merayap di dalam pikiranku, pintu depan aku buka lebar-lebar.

Di luar sana alam tengah lelap dibekap sunyi dan gelap.

Mendadak terlihat sosok perempuan berbaju serba putih berjalan melayang dari kegelapan menuju pintu pagar depan rumahku. Itu perempuan yang tadi berada di kamarku. Aku tersentak, kaget sekaligus takut bukan kepalang. Segera kulempar rokok dan bergegas balik badan untuk menutup pintu rumahku secepatnya. Namun, terlambat. Gerakan perempuan itu ternyata lebih cepat dari yang kuduga. Hanya sekedip mata, ia sudah berada tepat di depanku dan memaksa masuk. Dan kacaunya, aku tak berdaya menahannya. Ia menatapku. Aku tak kuasa untuk melihatnya. Wajahku tertunduk layu. Seluruh badanku kaku. Kecuali jantungku yang berdetak lebih cepat berkali-kali lipat dari normalnya. Hingga suara degupnya seperti terdengar keluar dari rongga dada.

Tanpa permisi, perempuan itu menuju kamar tidurku yang terletak di belakang. Ingin aku menahannya namun tak bisa. Jangankan bergerak, untuk berteriak saja aku tak bisa. Mulutku ternganga tetapi tak bisa mengeluarkan suara dari dalamnya. Aku takut setengah mati. Hingga akhirnya:

“Aaarrgghhhh…!”

Kali ini, aku benar-benar terbangun dari tidur. Dengan mulut terbuka dan napas yang tersengal-sengal tanpa irama. Jantungku terus berdegup-degup dengan kencangnya. Keringat dingin membasahi wajah dan kaos tipisku. Apakah ini masih di alam mimpi? Kucubit pipiku hingga merasakan sakit sendiri. Syukurlah, kali ini aku benar-benar terjaga dalam dunia nyata. Gila! Mimpi tadi seperti mencekikku hingga nyaris mati.


Tiga malam kami menghuni rumah ini, tiga kali pula mimpi yang nyaris sama selalu menggangguku. Dan kali ini mimpi yang kualami sangat jelas dan lebih menakutkan dari pada mimpi sebelumnya. Seorang perempuan berambut panjang yang tidak kukenal masuk ke dalam kamar kami di tengah malam. Apa makna mimpiku? Siapa perempuan itu?

Suara azan subuh terdengar bersahutan di kejauhan. Rasa takutku sedikit berkurang. Di sampingku Maura masih bergeming dalam lelap. Demikian pula dengan bayi kami di dalam ranjang kayunya. Aku menghampiri Farel untuk memeriksanya. Ternyata, celana popok sekali pakai (pospak) yang ia kenakan sudah dipenuhi air kencingnya sendiri. Aku segera menggantinya dengan perlahan dan hati-hati. Aku tidak ingin tidurnya terganggu. Usahaku berhasil. Farel masih ternyenyak ketika celana pospaknya sudah berganti dengan yang baru. Tetapi tidak dengan Maura. Ia terbangun ketika aku sedang memasukkan celana pospak bekas Farel ke dalam plastik kresek.

“Farel kenapa, Mas?” Tanya Maura dengan suara sedikit serak.

“Ngompol. Banyak sekali,” jawabku tanpa menoleh ke arah Maura. Aku tidak ingin ia tahu seluruh wajah dan sebagian kaos yang aku kenakan masih basah oleh peluh ketakutan. Maura lalu menyiapkan diri untuk memberikan ASI. Ternyata, memang sudah waktunya bagi Farel untuk sarapan.

Aku menuju kamar mandi sambil membawa plastik berisi ompol Farel. Di tempat itu, aku memutuskan untuk tidak menceritakan semua mimpi-mimpiku kepada Maura. Aku tidak ingin menularkan ketakutan. Apalagi setelah melihatnya, juga Farel, sangat menikmati kenyamanan dan ketenangan di rumah yang baru saja kami sewa.


Sebelum tinggal di rumah yang sekarang, kami menyewa sebuah rumah kontrakan yang terletak di tengah permukiman sumpek di pusat Jakarta. Saat aku dan Maura baru menikah dan masih menempatinya berdua, rumah berukuran 4 x 10 meter itu masih terasa cukup lega.. Namun, sejak kehamilan Maura hingga hadirnya Farel buah hati kami, rumah petak itu mendadak terasa sempit dan gerah. Beragam perabot hingga pernak-pernik perawatan bayi yang dipersiapkan untuk merawat dan membesarkan anak pertama kami memenuhi hampir seluruh ruang di dalam rumah. Sebagian di antaranya bahkan masih terbungkus kertas kado, barang-barang hadiah pemberian dari keluarga, teman dan kolega. Kondisi itu menjadi salah satu alasan kami membuat keputusan untuk pindah rumah. Walaupun itu bukan merupakan alasan terkuat.

Lihat selengkapnya