Kembali ke masalah mimpiku.
Di kantor, aku menceritakan semua pengalaman mimpi burukku sejak pindah ke rumah kontrakanku yang baru kepada Pak Ramlifar. Ia merupakan karyawan senior yang sehari-hari bertugas sebagai teknisi di stasiun radio kami yang memang dikenal mendalami ilmu agama.
“Pak Krisna, menurut saya kunci ketenangan jiwa itu ada pada doa. Jadi, mohon maaf, kalau Pak Krisna sekarang ini tidak merasa tenang, mungkin karena belum banyak berdoa sebelumnya,” ujarnya saat kami beriringan menuju tempat parkir motor.
“Benar juga, Pak. Sejak menempati rumah itu, kami memang belum mengadakan selamatan. Kemarin, kami terlalu terburu-buru menempati rumah itu. Lagi pula kami sudah kehabisan uang untuk menggelar pengajian, Pak.”
“Tidak harus mengundang orang-orang, Pak. Sekarang kan sedang PSBB. Bapak berdoa sendiri juga tidak mengapa. Tetapi, lebih afdal kalau bersama istri. Untuk mengusir roh halus yang mengganggu, malam ini akan saya tulis amalan doanya. Besok saya berikan ke Bapak untuk dibacakan setiap selesai salat di rumah dan menjelang tidur. Lebih banyak dan lebih lama akan lebih baik. Insya Allah, Pak Krisna dan keluarga bisa lebih tenang,” terang Pak Ramlifar. Bila masker yang aku kenakan dibuka, mungkin Pak Ramlifar bisa melihatku tersenyum dan bibirku yang bergerak mengucap kata amin.
Pak Ramlifar lalu memintaku menggambarkan seperti apa rumah yang baru saja kami tempati.
Rumah sewa yang baru saja aku huni milik seorang lelaki paruh baya yang tinggal di kota Palembang. Aku mendapatkan informasi tentang rumah sewa itu dan Pak Buntoro pemiliknya dari Miske. Teman kantorku yang rumahnya tinggal berdekatan dengan rumah sewa Pak Buntoro. Setelah Miske memberikan nomor telepon Pak Buntoro tak sampai satu jam aku meneleponnya.
Setelah telepon itu, Pak Buntoro mengirimkan kartu nama Imron satpam perumahan yang memegang kunci rumahnya melalui Whatsapp.
Kami pun segera membuat kesepakatan melalui telepon dengan Imron, untuk meninjau rumah itu. Saat tiba, aku dan Maura cukup senang karena kondisi luar dalam rumah itu tidak jauh berbeda dengan foto promosinya. Tidak hanya itu, Pak Buntoro juga ternyata juga meninggalkan beberapa barang mebel yang kami butuhkan. Sebuah ranjang kayu jati berukir, satu set meja makan lengkap dengan empat kursinya, kursi taman dan sebuah batu hias alam berwarna hitam seukuran kotak sepatu. Batu itu ditempatkan di atas wadah tembikar berwarna coklat. Bila dilihat dengan seksama, batu itu memiliki bentuk seperti lanskap alam yang menyerupai tebing terjal mini yang kokoh dan menjulang. Kalau kau pernah melihat Tanah Lot di Bali, seperti itulah bentuknya, tetapi dalam ukuran mini.
“Itu batu suiseki, saya titip sama Pak Krisna, mohon jangan dipindah ke luar kamar. Apalagi ditaruh di luar rumah. Digeser saja ke pojok kamar kalau Pak Krisna tidak membutuhkan. Saya akan ambil batu itu bila saya punya waktu. Kalau barang-barang yang lain silakan digunakan. Kalau mau disingkirkan ke tempat lain juga tidak mengapa,” jelas Pak Buntoro saat aku memberitahunya bila di rumahnya masih ada barang-barang miliknya yang tertinggal. Aku memang tidak akan memindahkan batu hias itu. Walaupun besarnya hanya seukuran kotak sepatu namun bobotnya melebihi berat satu botol galon air mineral. Sehingga yang aku bisa lakukan hanyalah menggesernya ke sudut ruangan di balik pintu kamar. Lagi pula Maura ternyata menyukai bentuk indah batu itu.
Kami juga menjadi bertambah yakin untuk segera menyewa rumah itu karena Imron yang menemani kami untuk memeriksa setiap sudut rumah tersebut juga memberi tahu bila lingkungan di perumahan itu aman dan nyaman. Tidak hanya itu, lokasi perumahan tersebut dekat dengan sejumlah fasilitas umum, seperti pasar, sekolah dan rumah sakit. Tanpa berpikir lama, aku dan Maura segera menyetujui penawaran yang diajukan oleh Pak Buntoro. Dua minggu setelah peninjauan itu, kami pindah dari rumah petak di lingkungan padat penduduk ke sebuah rumah yang lebih luas dan layak.
Walau sempat kosong, namun kondisi rumah yang terletak di sudut jalan buntu itu sangat baik. Hanya butuh sedikit waktu dan tenaga untuk membersihkan lantai, langit-langit dan kusen jendelanya. Taman yang ada di halaman depan rumah itu juga tertata bersih dan rapi sehingga aku juga tidak perlu repot-repot lagi untuk menata ulang. Imron nampaknya melakukan tugasnya untuk merawat dan menjaga rumah itu dengan baik.
Usai memindahkan seluruh barang dan perabotan rumah kami yang memang tidak terlalu banyak, aku berjalan mengelilingi lingkungan perumahan. Aku berharap bisa menyapa satu atau dua penghuni rumah lama untuk berkenalan. Saat itu aku baru tersadar bila rumah yang kami tempati bukan hanya menyudut, namun juga menyendiri. Selain dikelilingi tembok tinggi di depan dan di samping kiri, kami juga tidak memiliki tetangga. Satu-satunya rumah di sebelah kami ternyata tak berpenghuni. Blok rumah yang kami tempati terdiri dari enam rumah dan semuanya menghadap ke tembok yang kokoh yang tidak dicat dan hanya diplester. Di antara tembok dan pagar rumah kami dipisahkan oleh jalan aspal perumahan selebar 4 meter.