Namaku kim min ah, orang-orang memanggilku mina. Aku terlahir dari keluarga yang cukup. Ayahku memiliki warung daging, ibuku bekerja dibutik dan kakakku hanya seorang mahasiswi di universitas Kaist. Satu sekolah di sma ini tau bahwa aku salah satu dari mereka yang senang sekali melanggar aturan, suka membolos, dan menindas orang. Kami tidak senang diatur, namun kami senang mengatur orang. Sehingga banyak dari teman-teman sekolahku memanggil kami si pembuat masalah. Karena kami selalu mendapatkan masalah entah itu dengan sekolah maupun teman-teman.
“Cepat! kita harus pergi sekarang. Sebelum pak guru datang, kita kan belum mengerjakan tugas?” ujar jimin.
“bagaimana kalau kita kena masalah lagi?” kataku khawatir.
“kamu ini, kita kan sudah melakukan ini dari kelas satu. Kenapa kamu jadi seperti ini?” Tanya boa.
“ya sudahlah, hei kamu! Perlihatkan tugasmu pada kami” pinta jimin pada jia teman sekelasku.
Jia hanya menunduk dan memberikan tugasnya kepada kami.
“berusahalah mengerjakannya sendiri, dasar” ucap salah anak dari kelasku.
“kamu ini mengganggu saja”
Jimin memang selalu meminta contekan dari nya. Karena ia memang pintar dan rajin. Sebenarnya, aku punya masa lalu dengan jia. Aku pernah satu kelas dengannya. Bahkan kami dekat dulu. Kami dekat karena ia selalu menemaniku saat aku tidak memiliki teman. Namun, saat datangnya jimin pindah ke kelasku. Ia justru mengajakku untuk melanggar aturan disekolah. Dan entah mengapa, aku senang dan meninggalkan jia sendiri. Sampai saat ia dipojokan dikelas karena ia yatim piatu. Orang tuanya bercerai. Ibunya sakit dan meninggal. Sedangkan ayahnya pergi meninggalkannya. Aku ingin menemaninya saat itu karena hanya dialah yang selalu membantuku sejak sekolah menengah. Namun, aku terlalu takut. Takut kalau aku akan dipojokan jika aku membantunya.
“lebih baik kita mengaku saja kalau kita belum mengerjakan tugas” kataku.
“kamu kok lama-lama jadi gak asik gitu sih. Sudahlah, tidak usah sok baik didepan guru”
“haha iya maafkan aku, hanya bercanda”.
Seharusnya aku memang diam saja. Aku bertemu dengan jimin, saat aku menangis dibelakang sekolah setelah kematian nenekku. Ia menghiburku dan mengajakku bersenang-senang dengan bolos dari sekolah. Tidak tahu bagaimana, tiba-tiba aku terlibat dengannya. Aku fikir ia orang yang baik. Ternyata, aku baru tau bahwa ia sangat nakal. Aku bingung harus seperti apa. Namun karena aku merasa segan dengannya. Maka aku pun tidak berani jika melawannya. Maafkan aku jia, tapi aku tidak bisa membantumu dan kamu pun pasti tau mengapa. aku terlalu takut untuk melawan. Aku hanya butuh keberanian.
Hari-hari berlalu dengan cepat, kegiatan kami pun tidak jauh dari hal seperti itu. Hingga suatu masalah datang kepada ku. Saat itu jia dan jimin, dipanggil oleh guru olahraga kami karena membuat keributan saat pelajaran olahraga berlangsung. Lebih tepatnya jimin yang membuat masalah. Tapi anehnya, mengapa malah jimin yang selamat dari hukuman pak guru? Sedangkan ini sudah jam pulang sekolah dan jia tidak bersalah apapun. Dengan rasa penasarannya aku pun pergi pura-pura ke kamar mandi untuk melihat.
“aku ke kamar mandi dulu ya teman-teman. Kalau kalian ingin pergi duluan aku akan menyusul” ucapku basa-basi.
“oke” saut mereka bersamaan.
Aku berjalan perlahan saat melewati ruang guru yang hening itu, namun, aku tak melihat apa-apa. Saat aku melewati lapangan, aku melihat seorang pria dari kejauhan yang sepertinya melihat kearahku. Tidak ada niat lain, aku hanya melihatnya karena penasaran. Namun, aku tidak memperhatikan jalanku sedangkan aku sedang menuruni tangga. Aku terpeleset dan hampir saja jatuh. Tapi seseorang menahanku di pelukannya.
“astaga. Maafkan aku” pintaku yang cepat-cepat keluar dari pelukannya.
Sayang sekali aku tidak bisa melihat wajahnya karena wajahnya yang tertutup topi dan masker.
“terimakasih” ucapku dan menundukkan kepala.
“berhati-hatilah” jawabnya.
Lalu ia pergi dan bersin sepanjang jalan. Ah, pantas saja pakai masker. Ternyata sedang flu? Matanya terlihat indah, pasti orang yang tampan. Keesokan harinya, aku melihat guru olahraga sedang menguntit jia. Awalnya aku acuhkan. Tapi aku tidak tahan, saat aku memergoki guruku lagi. Aku pun menyapa pak guru agar pak guru merasa bersalah karena ketahuan olehku. Karena jimin dan teman-temanku mau pergi minum-minum dulu dan aku sedang malas jadi aku pulang sendiri. Aku melihat gudang olahraga yang masih terbuka.
“hmm, bukankah sudah go jo si ketua kelas tutup tadi? Mengapa terbuka seperti itu?” batinku.
“sudahlah, lebih baik aku tutup saja”
Aku kaget. Karena aku mendengar suara jia menangis dari dalam. Segera aku menelfon polisi dan mengambil foto jia dari luar. Tidak lama polisi pun datang dan aku segera memeluk jia yang dari tadi memberi perlawanan pada pak guru. Polisi pun membawa pak guru untuk diintrogasi. Disamping itu aku membawa jia kesuatu tempat untuk menenangkan pikiran. Untungnya, dekat sekolah ada cafe yang tidak begitu ramai. Jadi sementara aku membawanya kesana untuk menenangkan diri. Aku memang jahat padanya sebelumnya dan tak pantas untuk bersikap baik seperti itu, tapi dia perlu bantuanku.
“kamu kenapa enggak teriak aja sih? Tangan kamu sampai merah seperti itu karena melawan pak guru tadi. Bagaimana kalau kamu kenapa-napa?” ucapku khawatir.
Namun, ia hanya diam dan menunduk.
“aku tau aku bukan orang baik, aku pernah meninggalkanmu dan tak menemanimu. Aku tidak pantas disebut orang baik. Anggap saja aku hanya hanya menyesal tidak membantu dari awal. Tapi untuk saat ini, aku ingin kamu percaya kalau aku memang akan membantu. Katakan kenapa hal itu bisa terjadi?”
“Aku” jawabnya tidak yakin.
“apa aku bisa percaya padamu?”
aku pun mengangguk dan menyuruhnya untuk meminum air dahulu.
“kemarin, saat aku dan jimin ke kantor pak guru. Pak guru hanya menasehatinya lalu menyuruhnya keluar. Lalu ia bilang padaku bahwa anggap saja bapak seperti ayah kamu sendiri. karena ia bilang akan membantuku dalam pembiayaan dan perlindungan. Jadi, aku percaya. Tapi, aku tidak menyangka bahwa pak guru melakukan hal ini kepadaku, padahal aku sudah percaya padanya kalau aku akan dilindungi olehnya” terangnya.
Aku bingung harus seperti apa. Andai aku tidak berpura-pura menjadi selicik jimin selama ini. Andai aku berteman dengan orang baik dari awal. Pasti aku tidak terbebani sampai saat ini. Aku mengantarnya pulang karena untung saja kak joy bisa menjemputku dengan mobil ayah. Biasanya aku pulang kerumah dengan jalan kaki karena aku senang berjalan sambil mendengarkan musik merenungi apa yang sudah aku lakukan hari itu disekolah. Karena jarak antara rumah dan sekolah tidak terlalu jauh.
“kita sudah sampai”
aku turun dari mobil untuk melihatnya masuk dengan selamat. Aku hanya masih khawatir dengan apa yang ditimpa olehnya. Aku tercengang ketika aku berbalik badan aku melihat jimin, boa, dan so hyun.
“apa yang kamu lakukan disini?” Tanya jimin.
Aku berbalik dan melihat sekitar. Padahal ini bukan daerah rumah mereka. Rumah mereka satu jalan, karena mereka memang anak dari orang kaya.