Kalau ada yang bertanya sebenarnya kapan semua kejadian ini bermula, mungkin semua dimulai di hari itu. Satu hari biasa di antara hari biasa lainnya, dimana hujan gerimis turun saat Duna dan kedua orang tuanya sampai di rumah baru mereka. Rumah baru yang kesekian.
Meski saat itu tanah dan aspal dibasahi air hujan, keluarga Duna dan para jasa pindahan tetap sibuk memindahkan barang dari mobil ke dalam rumah. Seolah mengejar waktu, seolah ada keharusan untuk segera menyelesaikan semua proses pindah itu tak peduli ada hujan atau badai yang mengganggu mereka. Semua bergerak dalam diam, bergegas dalam tekanan, di bawah satu komando laki-laki yang total patriaki, ayah Duna.
Saat itu Duna kelas enam sekolah dasar. Rambut lurusnya berponi dan panjang sebahu. Ia mengenakan jumpsuit jeans berkaki pendek dan t-shirt pink cerah di dalamnya. Sambil memindahkan barang, kepalanya yang kebasahan oleh hujan kosong tanpa memikirkan apapun, dalam dirinya cuma ada rasa kesal, karena lagi-lagi harus pindah rumah dan pindah sekolah. Padahal faktanya tak sampai setahun lagi ia tetap akan meninggalkan sekolahnya yang sebelumnya karena akan lulus dan masuk ke SMP.
Saat itu Duna sama sekali belum paham apa itu cinta, di usianya yang menginjak dua belas tahun, Duna belum pernah merasakan ketertarikan dengan lawan jenis. Kalau dipikir-pikir lagi sepertinya pertumbuhan emosinya memang lebih lambat daripada anak-anak seusianya.
Teman sekelasnya di sekolah sebelumnya bahkan ada yang sudah terang-terangan mengumumkan pacaran di antara teman-teman dekatnya. Tak sedikit pula para siswi yang menggandrungi salah satu siswa dengan prestasi dan wajah tampan yang menarik perhatian mereka.
Sedangkan Duna, tak pernah merasakannya, sehari-hari ia hanya sibuk menggambar karakter anime di buku sketsanya. Meluapkan kekhawatiran, keresahan, rasa bosan dan semua rasa negatif yang selalu menyelimuti benaknya lewat guratan pensil.
Jadi saat dia pertama kali bertemu dengan cowok itu, cowok kelas sembilan SMP yang muncul entah dari mana, berhenti di depan rumah Duna dan membanting asal sepedanya di pinggir jalan, kemudian langsung bergerak mengambil salah satu kardus dari dalam mobil dan membawa ke depan rumah Duna tanpa diminta, lalu menyapa orang tua Duna dengan ramah seakan sudah mengenal mereka sebelumnya, pun tak memperdulikan betapa bingung dan bingung orang tua Duna saat membalas sapaannya, yang Duna rasakan awalnya hanya keheranan.
Tapi entah mengapa, untuk pertama kali dalam hidupnya, matanya tak bisa beralih saat menatap seseorang.
Rambut yang agak gondrong, seharusnya kelihatan berantakan ketika basah oleh air hujan, namun entah mengapa rambut cowok ini malah terlihat rapi seperti ditata. Ia memakai sweater hitam kebesaran dan celana hitam selutut yang juga kelihatan kebesaran. Asik bersenandung sambil memindahkan barang, tak mempedulikan pendapat dan pandangan orang tentangnya.
“Duduk aja, biar kakak aja.” Ucapnya sambil tersenyum ke Duna di depan pintu. Membuat Duna akhirnya melihat keseluruhan wajahnya.
Caranya membahasakan dirinya sendiri dengan panggilan Kakak ke Duna yang anak tunggal dan tak pernah punya bahkan sepupu laki-laki yang lebih tua, membuat Duna terkesima. Terasa asing sekaligus mengagumkan, seakan bertemu sosok yang belum pernah ia temui sebelumnya. Ia seperti hadir dari dimensi lain, seperti salah satu tokoh yang keluar dari komik yang suka ia baca.
Meski kejadian hari itu cukup cepat dan samar dalam ingatan, tapi Duna yakin, kalau ditanya kapan ia mengetahui perasaannya. Jawabannya tak lain selain hari itu.
Kalau dipikir-pikir semua itu salah hujan. Siapa juga yang tidak akan jatuh cinta. Di tengah tiupan angin dan tetesan dinginnya air, senyum cerahnya menghangatkan. Wajah tampannya menerangi gelapnya langit. Suaranya yang indah dan lembut mengucap, membuat kejadian yang berlangsung singkat itu jelas berkesan.
Meski begitu saat itu, Duna tak pernah benar-benar memusatkan fokusnya terhadap ketertarikan yang sekilas ia rasa itu. Dirinya terlalu cemas dengan pikiran akan bagaimana sekolah barunya nanti. Kekhawatirannya tentang lingkungan yang serba baru, membuatnya tak sempat berpikir untuk mencari tahu tentang sosok itu.
Saat itu ia tak menyangka kalau kepindahannya ke lingkungan baru ini membuat hari-harinya menjadi lebih berwarna.
Dimulai dari sekelas dengan siswa perempuan paling berisik dan paling menyita perhatian anak-anak seangkatannya karena tingkahnya berani dan cenderung suka cari ribut bernama Cintami, yang selalu mengamuk kalau ada yang memanggilnya ‘Cinta’ ia akan langsung membentak dan menegaskan kalau namanya adalah ‘Tami’, mukanya merengut seperti benar-benar benci dengan namanya sendiri.
Anak itu benar-benar berisik dan berkata sesuka hati. Tak kenal takut bahkan kepada wali kelas sekalipun. Ia melakukan protes hampir di setiap nilai yang ia dapatkan, tak mengerti juga mengapa wali kelas nya hampir selalu salah mengoreksi jawaban. Awalnya Duna merasa terganggu dengan keributan yang anak itu buat.
Duna memang tak banyak bicara, ia suka ketenangan, kepribadiannya cenderung pendiam, ia sulit memulai pertemanan dengan siapapun. Tapi sebenarnya itu bukan kemauannya, sikapnya jadi begitu karena orang tuanya terlalu berhati-hati dan jarang memberinya izin main di rumah, dengan teman di sekolah sebelumnya pun ia selalu dibatasi lingkar pertemanannya. Sehingga hari-harinya hanya dihabiskan di dalam kamar bermain dengan kucing oranye kesayangannya, Coco.
Di lingkungan baru seperti itu, ia lebih-lebih enggan untuk berusaha berteman dengan siapapun, toh mereka sebentar lagi akan lulus dan pindah ke SMP masing-masing, pikir Duna. Tak merasa perlu berusaha mengakrabkan diri.
“Namanya bagus.” Kata Tami dengan ramah sekaligus entah mengapa terdengar sombong, padahal sedang memuji nama Duna bukan namanya sendiri. Ia duduk berlawanan dari posisi bangku, menyapukan pandangannya ke Duna yang kelihatan kebingungan setelah tiba-tiba diajak bicara olehnya.
“Lu tau gak, rumah kita deket?” tanyanya lagi, membuat Duna membelalak kaget. Bukan kaget perkara rumah mereka yang ternyata dekat, tapi kaget karena Tami satu-satunya anak perempuan seumuran yang berbicara menggunakan kata ‘Lu-Gue’ secara terang-terangan. Duna sedikit mengkeret, sedikit takut dengan sikap ramah sekaligus galak Tami yang aneh.