2013, Kelas 1 SMA.
Tami mengaitkan tangannya di lengan Duna sambil berjalan memasuki sekolahnya. “Awas lu kalau sampai jatuh cinta sama Tria!” ancam Tami dengan mata bulatnya yang melotot, untuk puluhan kalinya semenjak mereka berteman lima tahun lalu.
Duna mengangguk-angguk, selama Tami masih mengucapkan ancamannya seperti barusan, berarti dirinya masih berhasil menyembunyikan rasa sukanya pada Tria yang tak pernah berkurang meskipun tahun demi tahun sudah berlalu begitu saja.
Kini mereka sudah kelas sepuluh, sudah bukan murid SMP yang lebih dilihat seperti anak kecil ketimbang remaja. Bentuk tubuh dan penampilan mereka pun berubah menjadi semakin mirip dengan wanita dewasa. Di saat Tami konsisten memendekkan rambutnya tak pernah melebihi bahu, Duna mulai memanjangkannya sampai ke punggung. Ia bahkan mulai mengenakan pelembab bibir yang mengeluarkan rona merah tipis saat digunakan. Semua itu sebenarnya hanya karena satu alasan, dan jelas, alasan itu adalah Tria.
Tria sudah berkuliah di universitas swasta jurusan desain komunikasi visual. Meski tak menyaksikan langsung, sari Tami, Duna cukup mendengar proses panjang sampai akhirnya Tria memutuskan memilih jurusan itu. Beruntung sebenarnya ‘hobi’ utama Tami adalah menggerutu tentang Tria. Jadi Duna tak terlewatkan satupun berita terbaru tentang pria yang dia sukai itu.
Ia jadi tahu cerita tentang Tria yang mengunci diri di kamar berhari-hari untuk berpikir tenang, berkali-kali video call dengan ibunya di Singapura untuk meminta masukan, mencecar Tian, si kakak sulung untuk merekomendasikannya kampus yang sesuai dengan ketertarikannya. Berkat Tami, Duna seakan menjadi saksi langsung dari semua proses itu.
Dikarenakan kini Tria sudah kuliah dan Tian tidak pulang kerumah selama hari kerja karena memilih tinggal di mess kantornya. Tria bisa bebas mengemudikan mobil Tian yang ada di rumah. Tentunya, Tami tak akan membiarkan itu terjadi dengan cuma-cuma. Ia langsung menodong Tria untuk setiap hari mengantar dia dan Duna berangkat sekolah, atau kalau tidak, dia akan mengadukan ke Ibu mereka kalau selama ini Tria tak membantu bersih-bersih rumah.
Alhasil sekarang setiap pagi Duna bisa melihat Tria, bisa semobil dengannya, bisa puas mencium aroma parfumnya. Meskipun sangat sulit untuk bersikap biasa di hadapannya, sangat sulit untuk mengatur ekspresinya agar Tami tak curiga. Dan setiap kali curiga, Tami akan mengucapkan kata-katanya seperti tadi. Agar Duna memahami, kalau ia sangat tidak mau sahabatnya sampai suka dengan Kakaknya.
“Eh, eh, itu dia!” Tami menyikut lengan Duna. “Itu!” Ia mengedikkan dagunya ke arah lapangan.
Menyipitkan matanya, Duna berusaha memfokuskan pandangannya ke siapa orang yang sedang Tami maksud karena ada banyak orang di lapangan. Sepertinya mereka anak-anak kelas sepuluh yang terpilih sebagai perwakilan OSIS dari ekstrakulikuler masing-masing.
“Siapa sih?” tanya Duna kemudian, menyerah karena tak paham siapa yang Tami maksud dan kenapa dia harus melihat orang itu.
“Ish!” gerutu Tami kesal, Duna selalu gagal memahami maksud pikirannya. “Itu cowok yang gue bilang waktu pendaftaran gue liat dia, cakep banget kayak cewek mukanya.” Bisik Tami gemas.
“Ohhh.” Duna baru paham. Meski ia tak mengerti mengapa Tami menganggapnya bisa langsung paham, padahal ia hanya sekali cerita tentang cowok itu beberapa bulan lalu bahkan sebelum masa orientasi di mulai. Kadang ia berpikir Tami terlalu memandang tinggi kemampuan ingatan dan kepekaannya. Sampai langsung kesal kalau dia tidak ingat dan tidak paham apa yang Tami maksud.
“Tapi kayaknya dia deket sama cewek itu.” Duna menggerakkan sedikit kepalanya ke arah lapangan lagi. Dan Tami langsung menegaskan pandangan matanya.
“Oh my God!” seru Tami tiba-tiba menutup mulutnya yang terbuka lebar. “Itu dia!” Kini dia memukul-mukul lengan Duna dengan keras.
“Siapa lagiiiii..” Keluh Duna, lagi-lagi ia tak mengerti siapa sebenarnya yang Tami maksud.
Tami merengut, lagi-lagi Duna tak ingat ceritanya. “Itu, namanya Raina! Cewek yang bikinin gue teh gue pas gue muntah-muntah di upacara orientasi!” Tekannya menahan emosi.
“Ohhh…” Kali ini memang Duna yang lupa, Tami memang menyebut nama Raina berkali-kali, bilang ia suka dengan gadis itu. Dan berkali-kali juga dia bilang akan menjadikannya role model-nya di sekolah. Meski tak banyak tanggapan, sebenarnya Duna juga setuju, Raina itu memang kelihatan sangat lembut, baik hati dan manis. Alangkah baiknya kalau Tami yang berisik ini bisa mengambil sedikit saja ketenangan sikap Raina.
“Waaah,” Tami terkagum, ia kembali melingkarkan tangannya di lengan Duna sambil melanjutkan langkah memasuki lobi sekolah. “Kalau mereka jadian, fix, gue bakal jadi fans pertama mereka.”