Duna keluar dari kamarnya, buru-buru menuruni tangga sambil mendengarkan ocehan Tami lewat ponsel di telinganya, padahal saat ini sudah jam sebelas malam.
Ia tak berpikir panjang, segera membuka pintu rumah padahal rambutnya acak-acakan dan piyama berbahan satin yang ia kenakan agak tipis. “Sorry gue tadi dah tidur…” ucapannya terhenti.
Seketika bibirnya kelu.
Di hadapannya bukan cuma ada Tami, tapi juga Tria yang menenteng tas laptopnya sambil tersenyum canggung ke arahnya.
“Ortu lu masih di Malang?” tanya Tami, mengembalikan kesadaran Duna.
“Ah, iya, gapapa, masuk aja.” Racau Duna sambil menunduk malu. Seketika wajahnya merah karena sadar pakaiannya terlalu tipis.
Berusaha untuk tak mengarahkan pandangannya langsung ke Duna, tapi bingung karena ia harus bicara dengannya. Tria akhirnya memfokuskan matanya menatap ke dahi Duna. “Aku boleh numpang bentar? Bentar aja.” Pintanya.
Tak berani menatap Tria langsung, Duna hanya mengangguk sambil tangannya mempersilahkan Tria untuk masuk ke ruang tamu. Tria pun mengangguk sungkan dan melangkah masuk. Merasa malu sekaligus butuh, ia pun duduk di sofa ruang tamu dan membuka laptopnya di atas meja. Melihat ke arah tangga dan memicing mata karena melihat Tami langsung naik ke lantai dua tanpa menggubrisnya.
Duna terdiam bingung, harus naik begitu saja ke kamar dan menemani Tami apa perlu menyuguhkan minuman hangat untuk Tria, bagaimanapun juga dia adalah tamu tapi dia tak ingin membangunkan Bi Marni karena pasti dia baru saja tidur.
Tria merasakan gelagat resah Duna, ia menengok dan melemparkan senyum. “Tidur aja lagi, aku cuma bentar, karena perlu nge-charge laptopnya.”
Lagi-lagi Duna hanya mengangguk kemudian melangkah ragu-ragu menaiki tangga. Di tengah tangga ia menengok sebentar, Tria kelihatan sudah fokus dengan laptopnya. Duna tersenyum lalu berjalan ke arah kamarnya, dari semua mimpi yang ada, ia tidak pernah bermimpi Tria ada di rumahnya. Meski dia hanya duduk di ruang tamu dan sibuk mengerjakan tugas kuliahnya.
Saat masuk ke kamarnya Tami sudah rebahan di atas tempat tidur sambil memainkan ponselnya. “Dia paling bentar, nanti dia pulang sendiri.” Ucap Tami.
“Ha?” tanya Duna tak paham, Tami memang suka bicara dengan tiba-tiba tanpa pendahuluan konteksnya apa.
“Tria,” sahut Tami, menurunkan ponselnya dari pandangan. “Dia ada tugas kuliah yang harus disetor sebelum jam dua belas malem ini.” Jelasnya. “Tadinya dia mau ke rumah Julian, tapi gue yang maksa dia buat anterin gue kesini aja. Gila kali gue ditinggal sendirian malem-malem gelap-gelap gitu.”
Senyum simpul menghiasi wajah Duna, rasanya ia ingin mengucap syukur karena listrik di rumah Tami bermasalah setelah hujan deras tadi, berterima kasih pada dosen Tria yang memberi deadline hanya sampai jam dua belas malam, dan kepada Tami yang memaksa Tria untuk mengantarnya menginap disini.
Bola matanya berputar sambil berpikir. Tak peduli betapa canggung dan malunya dia di hadapan Tria, tapi meninggalkan Tria begitu saja di ruang tamu tanpa mengatakan apapun, tidak benar rasanya.
“Bentar gue bikinin minum Kak Tria dulu, lu tidur aja.” Katanya, entah mendapat keberanian dari mana, langsung mengambil jaketnya yang tergantung di balik pintu dan mengenakannya.
“Eh gak usah repot-repot!” Seru Tami tak didengarkan, Duna langsung keluar dan kembali ke lantai bawah sambil menutup resleting jaketnya.