2014, Kelas 2 SMA
Tahun ini menjadi tahun yang cukup berbeda untuk Duna, dia dan Tami sudah resmi menjadi siswa jurusan Bahasa dan kini hari-hari di sekolah bukan hanya tentang mereka berdua. Raina, idola Tami dari kelas sepuluh kini sekelas dengan mereka dan duduk dibelakang mereka bersama Malik, anak laki-laki yang tak kedapatan teman sebangku laki-laki.
Sejujurnya Duna terasa aneh di awal pertemanan mereka, tahun demi tahun hanya Tami yang ada di sampingnya. Kini ada orang lain yang terselip di antara mereka. Meski pendiam dan cenderung tertutup dengan urusan pribadinya, Raina cukup terbuka perihal urusan pria. Dia blakblakan menjelaskan ke Tami yang penasaran kenapa dirinya putus dengan Kavi yang sekarang ada di kelas IPA. Raina bisa lancar menceritakan perasaan dan pikirannya perihal hubungannya dengan pria itu. Berbanding terbalik dengan Duna, yang siap menceritakan apa aja ke mereka jika ditanya, kecuali masalah Tria.
“Nggak bisa gini!” ujar Tami dengan mata menyala. “Gue harus kasih tau ke orang-orang juga kalau lu gak salah apa-apa. Masalahnya itu emang si Kavi sama Lisa!” Ia sangat berapi-api setelah tahu cerita keseluruhan dari Raina ternyata berbanding terbalik dengan rumor yang selama ini menyebar di sekeliling sekolah.
Duna hanya menyimak, antara lelah menonton kelakukan Tami yang tak pernah kehabisan tenaga untuk mengurus urusan orang lain, sekaligus bersyukur dengan adanya Raina, pembahasan antara Tami dan dirinya tentang Tria, tak berlanjut dan seakan terlupakan.
Tami sekarang sibuk menyebarkan penjelasan ke teman sekelasnya tentang kisah Raina, tentang bagaimana seharusnya semua orang memahaminya. Ia benar-benar sedang bersemangat menjadi juru bicara dan penyebar berita. Memberi waktu Duna untuk rehat dari kecemasannya tentang masalah Tria.
Seminggu lalu, saat masih liburan sekolah, ibu Tami kembali dari Singapura. Tami meminta Duna untuk datang ke rumahnya dan membawa oleh-oleh pemberian ibunya. Tentu rasa senang langsung menyelimuti dirinya, ia punya kesempatan bertemu dengan Tria. Bisa berbasa-basi lagi perihal tugas seni dan hal-hal lainnya perihal desain.
Semenjak obrolan malam singkat tentang tugas poster Tria di rumahnya tahun lalu, Duna sudah naik tingkat dari pemuja jarak jauh menjadi penasihat tugasnya Tria.
Betapa kagetnya waktu itu dia mendapat chat dari Tria yang ternyata meminta nomornya dari Tami, berisi gambar dua desain dengan warna yang hampir serupa. Memintanya memberikan pendapat lebih bagus menggunakan yang mana. Sejak saat itu, hingga sekarang, ia masih sering mendapat pesan tiba-tiba dari Tria, meskipun hanya membahas masalah desain dan Duna tak pernah menghubungi duluan, tapi karena sudah merasa lebih dekat, dia tidak terlalu mengkerut lagi saat bertemu Tria. Meskipun tetap, hatinya ketar-ketir dan bicaranya kadang masih terbata.
Tapi tak seindah itu kenyataannya, saat Duna datang ke rumah Tami untuk mengambil oleh-oleh miliknya, ia melihat seorang perempuan berwajah oriental seumuran Tria duduk di ruang tamu di sebelah ibu Tami. Perempuan itu berambut lurus sebahu. Mengenakan blus merah jambu dan rok jeans selutut. Tersenyum manis dan menampakkan lesung pipinya yang cantik.
Seketika perasaan Duna tak enak.
“Gue langsung pulang aja lah, gak enak ada tamu.” Kilahnya, saat Tami mengajaknya untuk bergabung duduk di ruang tamu dengan Tria, Tian, Ibunya dan cewek itu.
Mata Tami sedikit memicing, ia memperhatikan ekspresi Duna yang lagi-lagi kelihatan ‘ketakutan’ kalau kata Tria, tapi Tami tahu ekspresi itu bukan ketakutan melainkan kecemasan. Dan ia merasa bisa menebak dari mana kecemasan itu berasal. Meski ia ragu untuk menanyakannya. “Gue anter ke rumah lu.” Usul Tami tak biasa.
Duna mulai was-was waktu Tami kelihatan diam dan serius dari biasanya. Tapi ia tak berani menolak ataupun bertanya alasan dari gelagat itu, ia hanya mengikuti langkah Tami menyeberangi blok rumahnya sambil menenteng oleh-oleh di tangannya.
Di depan pagar rumah Duna, Tami berhenti dan menengok. “Sebenernya udah lama gue pengen nanya ini dari lama tapi gue tahan.” Ucap Tami kelihatan benar-benar serius. Duna langsung menelan ludahnya cemas.
“Lu suka sama Tria?” tebaknya tanpa tedeng aling-aling.
Duna tercekat, ia mau langsung membuka mulutnya untuk menyanggah tapi tak kuasa untuk berbohong pada Tami, pun tak punya keberanian untuk melakukannya. Ia hanya mematung dan diam seribu bahasa. Ingin menghilang saja dari muka bumi saking paniknya.
Melihat Duna yang kaku seperti tersengat listrik, Tami merasa tak tega. Dugaannya benar adanya, setahun ini dia diam-diam mengawasi, bagaimana sikap Duna setiap berada di depan kakaknya, bagaimana sikapnya saat Tami membahas tentangnya, bagaimana responnya setiap nama Tria disebut.
Mendengus nafas frustasi, Tami memijat dahinya yang tegang. Berusaha untuk bersikap dengan lebih tenang.
“Asal lu tau, cewek tadi, itu namanya Kamila.” Suaranya tertahan, kelihatan jelas sedang kesal tapi berusaha tetap sabar.