Tria memarkir mobilnya di seberang sekolah dan buru-buru turun menyeberangi jalan. Melambaikan jalan ke Tami dan Duna yang sudah menunggunya di halte depan sekolah. Ia menatap khawatir ke dahi Duna yang kelihatan ditutup kapas dan plester.
“Kenapa bisa gini?” tanyanya cemas sambil membukakan pintu mobil.
“Kepleset.” Sahut Tami singkat sambil membantu Duna masuk ke mobil duluan. “Gue duduk di belakang juga ya!” ujarnya ke Tria yang sudah duduk di kursi supir dan mengangguk.
Sepanjang jalan Tria berkali-kali menengok lewat kaca spion. Mengecek keadaan Duna sambil berusaha segera sampai ke klinik atau rumah sakit terdekat sebelum hari semakin gelap. Sementara Duna terus memalingkan wajahnya dan memandang ke luar mobil lewat jendela. Di sampingnya, Tami mengawasi. Perasaannya kini cukup rumit.
Sejujurnya Tami kebingungan.
Ia sudah menduga kalau Duna ada rasa dengan Tria, itu suatu hal yang memungkinkan, mengingat betapa populer kakaknya. Memang benar ia kurang memperhitungkan tegurannya dia pada Duna minggu lalu. Tapi itu semua karena dia kira Duna hanya sekedar naksir dengan Tria, bukan benar-benar rasa suka yang berasal dari dalam hati.
Makanya saat Duna diam seribu bahasa, dengan ekspresi penuh kecemasan sampai matanya berkaca-kaca, Tami tidak bisa melanjutkan obrolan mereka. Kenyataannya ia mendadak kebingungan harus bagaimana. Harus tetap pada prinsipnya untuk menghalangi Duna punya perasaan pada kakaknya karena bisa melukainya, atau membiarkan saja Duna mengalami pasang surut cintanya tanpa memikirkan akibat kedepannya seperti apa. Ia merasa bersalah hingga tak sanggup membahasnya lagi dengan Duna.
Beberapa menit kemudian mereka sampai di rumah sakit terdekat dan langsung ke IGD. Tria mengurus pendaftaran sementara Tami menemaninya Duna saat dahinya dijahit. Tak sampai sepuluh menit dahinya sudah ditutup dengan plester dan Duna duduk di pinggir kasur UGD sambil meringis.
“Perih banget ya?” Tami ikut meringis melihat Duna.
“Lumayan,” jawab Duna sambil menurunkan rambut depannya sedikit menutupi dahi.
“Gue beli minum dulu, lu tunggu ya.” Ucap Tami langsung melenggang pergi meninggalkan IGD bahkan sebelum Duna membuka mulutnya untuk mencegah karena takut Tria yang lebih dulu kembali.
Benar saja tak berapa lama Tria datang, dengan wajah masih penuh kecemasan ia mendekat. “Berapa jahitan?” tanyanya sambil menyibak rambut Duna dengan jari tangannya.
Duna reflek mengangkat kedua bahunya sambil memalingkan wajah. Jantungnya berdegup tak karuan sampai-sampai terasa di permukaan dada. “Dua.” Sahut Duna gugup.
Menyadari Duna tidak nyaman dengan tindakannya, Tria langsung menurunkan tangannya dan bergerak mundur selangkah. “Maaf.” Ucapnya spontan.
Seperti biasa Duna hanya mengangguk dan tetap menundukkan kepalanya. Sekarang keduanya sama-sama terdiam di dalam bilik ruang IGD yang hanya ditutup tirai biru.
Tria memutar matanya ke sembarang arah untuk menghilangkan rasa canggung dalam benaknya yang datang tiba-tiba setelah kejadian barusan. Lagi-lagi ia lupa kalau meskipun teman Tami, Duna bukan adiknya, harusnya ia lebih berhati-hati dalam bertindak mengingat betapa pemalunya Duna.
Merasa tak enak hati Duna memberanikan diri untuk membuka mulutnya.
“Makasih, Kak.” Kata Duna pelan masih sambil menunduk.
“Em?” Sahut Tria sambil menegok, tak terlalu mendengar ucapan Duna barusan.
“Makasih udah anter..” Mulut Duna berhenti bicara karena tiba-tiba Tria berjongkok di depan kakinya lalu memandangi lututnya. Mata Duna membelalak dan wajahnya tegang, ia menahan nafasnya di tenggorokan hingga wajahnya pucat karena kekurangan oksigen.
Tria langsung bangun, dan berjalan menjauh. Duna langsung melepaskan nafasnya keras-keras dan memegangi dadanya yang terasa hampir meledak. Namun tak lama Tami datang dan Tria dengan seorang perawat berjalan di belakangnya.