AS NIGHT FALL BY

Arisyifa Siregar
Chapter #9

9. Sikap ganjil yang tiba-tiba

“Lu inget Niko gak? Temen SMP kita yang pernah naksir lu? Gue kemarin ketemu dia di Mall.” Kata Tami.

Dia mulai lagi, ucap Duna dalam hati. Beberapa bulan ini dia sudah tak pernah bertemu dengan Tria, meski penasaran apakah kalau bertemu lagi sikap Tria akan sedingin seperti waktu terakhir kali mereka bertemu di depan minimarket, Duna menekan dirinya untuk tak memikirkan atau mencari tahu. Mungkin lebih baik begini, semakin tak bertemu Tria makin besar kemungkinan perasaannya berkurang, meski sejauh ini belum ada perbedaan yang ia rasakan. Dan sebenarnya ia sadar, semua itu mungkin karena dia masih terus mengawasi Tria dari jendela kamar.

Tapi entah mengapa akhir-akhir ini Tami justru kelihatan terang-terangan berusaha membuat dirinya melupakan Tria, dia menjadikan ajakan dengan Raina dan Duna untuk punya pacar saat naik kelas dua belas nanti, sebagai alasan agar Duna tidak terus mengharapkan kakaknya, meskipun ini sejauh ini semua itu hanya dugaan Duna. Karena di mata Duna ketimbang mencari potensial pacar untuk Raina atau dirinya sendiri, Tami kelihatan lebih sibuk mendorong Duna kesana-sini.

Sejauh ini Duna menggunakan Malik sebagai tameng. Ia berangkat dan pulang sekolah bersama Malik tiap hari. Meski tak ada perasaan suka sebenarnya belakangan Duna merasa lebih nyaman ngobrol dengan Malik ketimbang Tami yang selalu membuatnya was-was.

“Dia minta nomor lu,” sambung Tami. “Gue kasih ya?” Ucapannya di telinga Duna kedengaran lebih mirip perintah daripada pertanyaan.

“Em.” Angguk Duna dingin. Menolak salah, menerima terasa salah. Bagaimana juga ia terjebak dalam situasi yang membuatnya selalu merasa harus menuruti Tami, suka atau tidak, harus diakui semua ini terjadi karena kelakuannya sendiri.

“Liburan nanti pada mau kemana?” celetuk Raina, meski banyak diam sepertinya gadis itu kurang lebih memahami situasi yang terjadi selama ini, ia sadar obrolan barusan membuat Duna tak nyaman, tapi juga tak enak hati untuk terang-terangan meminta Tami agar berhenti menekan Duna.

“Gue bakal keluar kota, ortu ada acara.” Sahut Duna.

Tami yang sedang mengirimkan nomor ponsel Duna ke Niko langsung melirik kaget. Selama mengenal Duna, dia tak pernah liat sahabatnya ini pergi liburan di luar kota apalagi dengan alasan ikut acara orang tuanya. Tami paling tahu betapa Duna tidak nyaman berada terlalu lama bersama orang tuanya yang selalu bersikap dingin padanya.

Tiba-tiba ia mulai kembali merasa bersalah, berpikir mungkin Duna memang ingin menghindar dari dirinya dan Tria selama liburan kenaikan kelas nanti. Karena biasanya momen liburan itu digunakan oleh Ibunya untuk pulang ke rumah dan mengajak semua anaknya termasuk Duna untuk jalan-jalan. Fakta bahwa Duna mendahului mengisi liburan dengan acaranya sendiri, membuat Tami merasa sedih mendengarnya. Tapi mulutnya terlalu berat untuk merespon.

“Duna!” Malik menepuk bahu Duna. “Yok pulang!” Ajaknya sumringah, ia awalnya hanya melihat Duna sebagai teman sebangku biasa, tapi seiring berbulan-bulan duduk semeja, ia diam-diam mulai menaruh perasaan.

“Oh, iya.” Sahut Duna bergegas merapikan tasnya dan beranjak dari kursi. “Gue duluan ya!” pamitnya ke Tami dan Raina, berjalan meninggalkan kelas sambil mengeluarkan kunci sepedanya dari saku baju.

Raina mengamati Tami yang kelihatan langsung berubah ekspresi wajahnya selepas kepergian Duna. Ia tak benar-benar tahu apa yang sedang terjadi dengan kedua teman, pun tak ingin lancang untuk masuk paksa ke dalam persahabatan mereka yang sudah terjalin lebih lama sebelum mengenal dirinya. Ia hanya bisa mengulurkan tangannya dan mengusap bahu Tami lembut, berharap bisa memberikan kenyamanan dan meringankan pikirannya yang sedang tidak baik-baik saja.

Tami mengangguk dan menyunggingkan senyum, ia tahu Raina peka, ia tahu hubungannya yang renggang dengan Duna akan dengan mudah ditangkap mata. Tapi masalah mereka terlalu sensitif, ia tak bisa menceritakannya ke Raina atau siapapun. Jadi ia bersyukur Raina sampai sekarang tak bertanya sama sekali, padahal pasti, temannya ini juga merasa tak nyaman dengan keadaan belakangan ini.


Malik menengok dan mendapati Duna tak mengendarai sepedanya. Gadis itu menuntun sepedanya sambil melamun dan tampak tidak memperhatikan sekitar. Malik menekan rem di tangannya, berhenti kemudian turun dari sepeda, ia melambatkan langkah, menunggu Duna sampai ke sampingnya agar berjalan beriringan. Begitu Duna tiba di sisinya, ia mencuri-curi pandang, menelisik ekspresi Duna yang sepertinya makin hari makin banyak pikiran.

“Lu, ada masalah ya sama Tami?” tebaknya, membuat Duna berhenti lamunan.

“Nggak,” tampik Duna. “Baik-baik aja, lu liat sendiri tadi gue ngobrol sama dia.” Tambahnya berusaha meyakinkan, tak ingin ada orang lain yang tahu kalau hubungannya dengan Tami selama ini memang menjadi agak berbeda.

Hidung Malik berkerut tak setuju, “Tapi gue ngeliatnya kayak kalian makin jauh.” Ungkapnya jujur. “Kalau lu gak mau cerita sama gue gak apa-apa, cuma kalau lu mau cerita, gue siap dengerin tanpa komentar.”

Langkah Duna terhenti, ia lumayan tersentuh dengan ucapan Malik barusan. Tak menyangka kalau sosok Malik ternyata punya sikap yang cukup dewasa.

Selama ini ia sepertinya memandang Malik sebelah mata, padahal setelah dipikir-pikir lagi, Malik memang orang yang cukup hangat untuk dijadikan teman bicara.

Lihat selengkapnya