2015, Kelas 3 SMA
Hari-hari liburannya kemarin dihabiskan untuk menjauh dari Tria dan sungguh-sungguh berusaha melupakannya untuk pertama kalinya. Pikiran Duna bahkan teralih ke hal lain selama beberapa hari belakangan.
Tentang masa depan yang ternyata bukan berada di tangannya.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama ia akhirnya bisa makan malam bersama kedua orang tuanya saat di Surabaya, ia memberanikan diri membahas ketertarikannya untuk mempersiapkan diri untuk ikut tes masuk universitas dan ingin mengambil jurusan Desain. Namun bak tersambar petir, respon ayahnya jauh di luar perkiraan.
“Kamu nggak usah susah-susah belajar buat tes universitas, persiapkan saja untuk ikut ujian Akademi Militer, lulus SMA langsung berangkat ke sana.” Jelas ayahnya dingin.
Kini Duna kebingungan sendiri. Ia tak pernah punya keinginan untuk menggeluti militer seperti ayahnya. Ia tak pernah mendengar sekalipun ada arahan dari orang tuanya untuk menuju ke sana. Tapi mengapa mereka dengan santai mengucap seakan Duna sudah setuju dan hal itu sudah menjadi kesepakatan sejak lama.
Di luar kegalauannya, sekolah sedang dihebohkan dengan datangnya murid cowok baru bernama Yiran, meski awalnya tak terlalu menaruh perhatian, Duna harus mengakui kalau Yiran memang sangat tampan, bahkan ketimbang Tria, bisa dibilang Yiran berada di level yang berbeda. Setidaknya tinggi badan Tria cenderung rata-rata, kemungkinan di angka seratus tujuh puluh lima sentimeter. Tapi Yiran ini mirip pemain basket NBA, paling tidak dia sepuluh sentimeter lebih tinggi dari Tria. Ditambah dengan wajah tampannya. Duna pun setuju kalau kehadirannya sangat memanjakan mata wanita, termasuk dirinya.
Tami kelihatan bersemangat, ia sepertinya benar-benar menyukai sosok seperti Yiran yang langsung menjadi idola sekolah. Ketimbang menghabiskan waktunya untuk memikirkan nasib masa depannya yang menyedihkan, Duna memilih untuk bergabung dalam kesenangan Tami mengagumi sosok Yiran, untuk pertama kalinya juga Duna menyadari kalau tak harus Tria, semua cowok tampan ternyata bisa memicu kebahagiaan dan semangat. Buktinya Yiran bisa membuatnya sementara lupa dengan masalahnya.
***
Tami dan Duna memekik heboh saat mendengar Raina ternyata diminta Wakasek untuk membantu Yiran dalam mata pelajaran bahasa, Rainna memukul lengan keduanya dengan keras.
“Ssst!” Tegur Rainna sambil meletakkan telunjuk di depan mulut.
“Jangan sampai ada yang tahu loh, bisa bahaya!” Tekannya dalam bisikan ke Tami dan Duna yang duduk di depannya. Jumlah murid di kelasnya yang ganjil membuat Raina duduk sendirian dan tak punya teman semeja. Bersyukur tepat di depannya ada kedua sahabatnya yang tak pernah sekalipun membuatnya merasa kesepian ini. Tahun ini Malik pindah ke kelas sebelah. Dan Tami kembali duduk sebangku dengan Duna.
Tami mengernyit tak setuju, “Bahaya gimana? Bagus kan lu bisa dapetin Yiran, bisa kuliah juga.”
Raina menggeram gemas. “Dapetin apaan! Coba lu pikirin deh, Yiran baru sehari masuk aja populernya udah kayak apa, kalau ada yang tau gue dapet akses deketin dia, jalur VIP pula, menurut lu semua cewek-cewek pada gimana?” cecar Rainna.
Duna mengangguk-angguk setuju, “Iya sih, gue aja iri!” Ungkapnya jujur, Raina memang jauh lebih berhati-hati seperti dirinya, bukan seperti Tami yang seradak-seruduk tentang pemikirannya.
“Nah, kan!” Timpal Raina sambil memasukkan buku ke dalam tas. “Lu udah lupa sama kejadian setahun lalu?” tambahnya sambil melemparkan kerlingan mata ke Tami.
Tak bisa mendebat karena tahun lalu bahkan Duna saja sampai masuk IGD karena perbuatan fans Lisa, Tami akhirnya mengangguk paham.
“Eh, tapi…” serunya sambil menepuk lengan Raina dan Duna, keduanya langsung balik ke posisi semula, menundukkan badan dan mendekatkan bahu satu sama lain agar bisikan apapun diantara ketiganya bisa terdengar. “Kenapa Wakasek sampai harus minta tolong lu buat bantu dia?” Lanjut Tami, “Dia siapanya Bu Farida? Or lebih tepatnya, dia siapa?”
“Yiran, lah!” Sahut Duna menggoda. Langsung mendapat pukulan keras di bahu dari Tami yang gregetan dengannya.
Diam-diam Duna merasa bahagia, sudah sejak lama sejak terakhir Tami bersikap semena-mena terhadap dirinya. Selama ini Tami nampak terlalu bersikap hati-hati di depannya, mungkin karena takut salah bertindak dan membuah hubungan mereka yang sudah seperti berjalan diatas es tipis itu hancur seketika.