AS NIGHT FALL BY

Arisyifa Siregar
Chapter #13

13. Menyadari kejanggalan

Termenung di kursinya sendiri sementara di belakangnya Tami dan Raina sedang sibuk membahas universitas tujuan mereka dan hubungan asmara Raina dan Yiran, Duna berusaha untuk terlibat dalam pembicaraan tapi ia gagal karena pikirannya sedang berantakan.

“Gak usah ambil pusing, papa dah atur kamu pasti masuk! Gak usah berusaha apa-apa, kamu masuk jalur khusus!” Respon ayahnya waktu ia melakukan protes dan memberitahu kalau jurusan bahasa seperti dia tak bisa masuk Akademi Militer.

“Salah sendiri sekolah bukan yang bener! Seharusnya kamu masuk IPA dari awal bukan sekarang malah protes!” Tambah ayahnya, malah menyalahkan kemampuan Duna seperti yang biasa ia lakukan. Dan Duna, seperti biasa juga, tak bisa mendebat ucapan ayahnya, ia hanya menengok ke ibunya yang kelihatan kasihan padanya. Namun sama seperti Duna, tak ada yang bisa dilakukan ibunya saat ayahnya sudah bersabda. Ibunya terjebak patriarki dan maskulinitas ayahnya.

Ia menghela nafas sambil bertelekan dagu di atas meja. Kepalanya pusing, ia memejamkan mata sambil berusaha menenangkan pikirannya, berandai-andai adakah jalan keluar dari masalah ini. Raina saja yang tidak pernah berpikir punya kesempatan untuk kuliah mendapatkan keajaiban dan kesempatan setelah kedatangan Yiran. Mungkin saja dirinya juga bisa mendapat keajaiban entah darimana. Harapnya.

Tami menengok dan mengamati punggung Duna yang terasa berat dan dingin. Sahabatnya itu memang selalu pendiam, tapi tak pernah sependiam akhir-akhir ini. Ia ingin bertanya ada apa dan ingin Duna membagikan keluh kesah masalahnya, tapi ia takut semua berhubungan dengan Tria, malah membuatnya serba salah kedepannya.

“Dun!” tepuk Tami membangunkannya dari lamunan. “Lu jadi daftar di tempat les gue?”

Mata Duna berkelebat, ia lupa ada janji akan les dengan Tami di tempat yang sama, namun posisinya sekarang ia tak bisa meminta izin atau meminta uang ke orang tuanya untuk les, karena ia tidak dipersiapkan untuk masuk universitas. Otaknya berpikir cepat, ia tersenyum dan menggeleng. “Gue les di tempat lain yang didaftarin Papa.” Dustanya, berharap Tami tak menangkap gelagat tak jujurnya.

“Oh,” Tami mengangguk percaya, ia berpikir mungkin Duna menargetkan jurusan Seni atau Desain seperti yang pernah ia sebutkan sebelumnya. Jadi masuk akal kalau dia ambil tempat les yang fokus pada target universitas atau tujuan jurusannya. “Kapan mulai lesnya? Gue hari ini.”

“Sama.” Sahut Duna. “Nih pulang mau langsung kesana.” Ia mulai merasa bersalah karena membohongi Tami. Padahal seharusnya ia bicara terang-terangan ke sahabatnya ini, tapi ia terlalu malu untuk mengungkap kenyataan ayahnya akan melakukan nepotisme terhadap dirinya.

“Oh yaudah yok bareng ke gerbangnya!” Ajak Tami lalu menengok ke arah Rainna. “Na, lu bareng Yiran, kan?” 

Raina mengangguk. “Kalian duluan aja!”

“Yok!” Ajak Tami lagi ke Duna yang bergegas merapikan tasnya dan bangun dari kursi.

Sambil pamitan dengan Raina, berjalan keluar kelas, menyusuri lorong sambil mendengar cerita Tami kalau dirinya merasa tak cocok dengan Bagus, lalu berjalan ke arah gerbang sekolah, pikiran Duna sama sekali kosong. Ia mulai kebingungan bagaimana cara menjelaskan ke Tami nanti, bagaimana cara memperbaiki situasi yang malah jadi runyam begini.

“Tria?” ucap Tami, sontak membangkitkan fokus Duna.

Tria berdiri di samping mobilnya sambil melambaikan tangannya ke Tami yang menggerutu kenapa Tria menjemputnya padahal ia tidak minta dan kalau diminta malah tidak mau melakukannya. Duna menghindari pandangan Tria, pikirannya sudah terlalu kacau saat ini. Tak sengaja matanya melihat ke warung kopi yang ada di seberang sekolah. Motor merah yang terparkir di depannya terlihat familiar. Ia memicing mata dan mengawasi cowok yang keluar dari dalam warkop, cowok itu sedang melihat ke arahnya juga dan tersenyum sambil melambaikan tangan.

“Mau bareng ke tempat les lu?” ajak Tami.

Seketika Duna panik, ia menengok ke Tria lagi, ke Tami, dan ke Niko yang masih melambai-lambai padanya dari depan warkop. Baru kali ini ia merasa bersyukur atas keberadaan Niko yang tak diharapkannya. “Nggak, gue dianter Niko.” Tunjuknya ke Niko yang sedang berjalan ke motornya.

“Ha?” Tami memekik kaget. “Oh my God lu beneran pedekate sama dia?” tanyanya mendadak bersemangat.

Duna tersenyum setengah dan menyentuh tangan Tami seraya mengisyaratkan dirinya pamit. Lalu berjalan melewati Tria sambil menganggukkan kepalanya sopan dan langsung menghampiri Niko. Cowok ini benar-benar sumringah Duna menyambanginya lebih dulu, padahal dia hanya coba-coba nongkrong di depan sekolah Duna.

Lihat selengkapnya