Bulan demi bulan berlalu, Duna hanya fokus pada pelajarannya. Ujian demi ujian sekolah terlewati. Ia bahkan diam-diam juga mengikuti ujian masuk universitas bersama Tami. Namun tepat setelah semua berakhir, di masa tenang yang penuh harapan. Sebelum ia diseret ayahnya untuk ikut ujian masuk akademi militer yang hanya ‘formalitas’ baginya itu. Senin pagi yang seharusnya dicerahkan oleh masa-masa akhir sekolah berubah menjadi gonjang ganjing karena Raina tiba-tiba hilang.
Yiran panik mencarinya kemana-mana, Tami dan Duna pun berusaha sekuat tenaga, tapi hari demi hari terlewati dengan penuh tindakan sia-sia. Tak ada yang tahu kemana dan bagaimana keadaan Raina. Semua baik-baik saja saat mereka terakhir kali bertemu. Bahkan setahu Duna dan Tami, Raina ada kencan dengan Yiran di weekend sebelum kehilangannya. Hilangnya Raina, turut meredupkan semangat Duna.
Sama seperti dirinya, Raina lumayan tertutup. Dua tahun berteman, Duna dan Tami tahu kalau ia menghilang kali ini karena sedang ada masalah yang tak bisa ia tangani. Yiran semakin putus asa, ia bahkan terus bertanya-tanya pada Kavi, mantan Raina, kalau-kalau Kavi ada dugaan dimana Raina. Namun hasilnya tetap nihil.
Sampai beberapa minggu kemudian, beberapa hari sebelum kelulusan, dan tengah mempersiapkan keberangkatannya untuk ujian ‘formalitas’ nya karena sayangnya ia tak lulus ujian universitas yang diikutinya, Tami tiba-tiba datang ke rumahnya. Bilang dia tahu dimana Raina, namun masalahnya justru bukan itu, saat itu untuk pertama kalinya Duna melihat Tami jatuh cinta dengan pria.
Sayangnya, itu Kavi, mantan Raina. Untuk pertama kalinya selama pertemanan mereka, Duna akhirnya memarahi Tami.
“Lu gila ya?” hardiknya. “Itu mantan Raina!” Ia menggeleng tak habis pikir, namun Tami sepertinya sudah kelewat jatuh hati. Sekarang Duna bisa merasakan apa yang mungkin selama ini Tami rasakan saat dirinya ketahuan menyukai Tria. Ternyata rasanya menyebalkan dan mengesalkan seperti ini. Pantas saja Tami berusaha untuk menjauhkannya dengan Tria, kini dirinya sendiri bahkan ingin berusaha maksimal untuk menjauhkan Tami dari Kavi.
Untuk pertama kalinya sejak kejadian dengan Niko hari itu Duna menginjakkan kakinya di rumah Tami lagi, mereka sedang menunggu Kavi datang menjemput untuk membawa mereka berdua ke Bandung, menemui Raina. Sudah berbulan-bulan juga Duna tak mengawasi Tria dari jendela kamarnya. Pikirannya akhir-akhir ini ia curahkan semua ke masalah masa depannya. Saat ini ia bahkan sedang termenung sendiri sambil mengamati Tami yang sibuk menata rambut dan pakaiannya karena ingin terlihat cantik oleh Kavi. Memikirkan nasibnya yang jelas tak bisa diperjuangkan lagi kecuali ia harus kabur dari rumah.
Ia mengira ia sudah melupakan Tria, ia kira saat bertemu dengan Tria ia akan baik-baik saja, tapi dugaannya salah total. Saat mobil Kavi datang dan ia keluar kamar bersama Tami, ia berpapasan dengan Tria yang baru keluar dari kamar mandi, tanpa mengenakan baju, hanya celana pendek dan handuk yang tersampir di bahu.
Duna buru-buru memalingkan wajah, jantungnya hampir meledak. Gambaran Tria yang tanpa busana langsung menempati posisi teratas pikiran di otaknya. Di sampingnya Tami bertolak pinggang. Memarahi Tria yang kebiasaan berkeliling rumah dengan telanjang dada.
Melirik ke Duna yang sudah cukup lama tak dilihatnya sambil menutupi bagian atas tubuhnya dengan handuk, Tria mengerutkan dahi dan bertanya mereka hendak pergi kemana.
“Ke Bandung, ketemu Raina.” Sahut Tami ketus langsung menggandeng tangan Duna. “Berangkat dulu!” Pamitnya dingin lalu menarik Duna untuk mengikutinya.
Masih tak menengok karena kelewat malu, Duna melangkah buru-buru keluar rumah bersama Tami yang sudah cengar-cengir karena akan segera bertemu Kavi.
Duna menyadari, ia salah mengerti. Perasaannya pada Tria bukannya sudah tak ada, tampaknya hanya redup sementara karena teralihkan fokusnya. Kalau begini tampaknya tak ada pilihan lain selain melarikan diri sejauh-jauhnya. Sebelum masuk ke dalam mobil ia menarik lengan Tami.
“Tam, bentar gue mau ngomong.” Ucapnya.
Tami mendelik heran lalu mendekat.