AS NIGHT FALL BY

Arisyifa Siregar
Chapter #16

16. Rahasia yang terungkap

Beberapa minggu kemudian…


“Sial!” umpat Tami, setelah beberapa minggu tidak bertemu, ini pertama kalinya ia melihat sosok Kavi lagi, dengan potongan rambut baru, dan jas biru dongker nya, dia berjalan menaiki panggung bersama beberapa lulusan terbaik lainnya. Susah payah menjauhkan ingatannya tentang Kavi, tak mau lihat instagram-nya, tak mau cari-cari tahu tentangnya, yakin kalau perasaannya hanya sementara. Sempat bertengkar dengan Duna karena yakin perasaannya tak sebegitu kuatnya, dan bertaruh dengan penuh percaya diri kalau dirinya tak seperti yang Duna khawatirkan. Nyatanya gagal dalam detik pertama melihatnya.

Duna yang duduk di barisan lebih belakang karena urutan bangku acara kelulusan ini disesuaikan dengan absen di kelas, melongok ke tempat duduk Tami, melihat ekspresi Tami yang kelihatan sedang memandang ke arah panggung dan mematung. Ia pun mendengus pasrah. Tahu kalau besok saat mengantar kepergiannya ke stasiun untuk mulai persiapan masuk akademi militernya, Tami akan berambut pirang karena kalah taruhan yang ia sebutkan saat membeli tas couple untuk acara kelulusan ini beberapa waktu lalu.

Saat itu untuk pertama kali selama persahabatan mereka ia benar-benar bertengkar dengan Tami. Mungkin karena merasa terdesak waktunya yang sempit. Ia merasa perlu menekan Tami lebih keras untuk mengurungkan niatnya mengejar cinta Kavi. Tapi dengan percaya diri temannya itu bertaruh kalau dirinya tak sebegitu sukanya dengan Kavi. Yakin kalau setelah beberapa lama tak ke sekolah dan bertemu di acara kelulusan ini, perasaannya pada Kavi sudah hilang. Dan kalau sampai ia masih punya rasa, ia akan mengecat pirang rambutnya agar di cemooh Tian dan Tria, dan kalau sampai itu terjadi, Duna harus berhenti melarang perasaannya, karena itu berarti ia sudah tak mampu lagi menahan rasa sukanya.

Dan benar dugaan Duna, Tami tak mampu menahan perasaannya. Ditambah dukungan maksimal dari Raina, Duna yakin Tami akan benar-benar mengejar cintanya.

Selepas acara, Kavi mencari keberadaan Tami, hanya karena ingin membicarakan apakah ia mau ikut mengantar ijazah Raina ke Bandung, tapi yang ia lihat hanya Duna, tak ayal Kavi pun menyambanginya. Awalnya ia juga bermaksud ingin menanyakan hal yang sama ke Duna, tapi saat gadis itu melirik sinis ke dirinya, Kavi pun mengurungkan niatnya dan langsung menanyakan hal yang selama ini sebenarnya cukup mengganggunya, “Gue ada salah sama lu atau lu ada masalah sama gue?” tanyanya.

Duna mengerjap, sontak tak enak hati karena ternyata gelagatnya ditangkap jelas oleh Kavi, dia pun menggeleng. Merasa tak akan ada jawaban jujur dari cewek ini Kavi pun mengesah lalu menanyakan keberadaan Tami. Kali ini berusaha agar tak terlihat sinis, dan coba bertindak lebih dewasa, Duna pun menjawab, “Udah pulang duluan tadi, chat aja.” Lalu undur diri.

Di depan pintu aula Duna menghubungi Tami, dia menunggu cukup lama sampai panggilannya dijawab. “Lu nggak usah warnain rambut!” ucapnya tanpa salam sapa. “Gue juga gak bakal ngehalangin lu lagi.”

Sorry!” potong orang dari seberang saluran, suaranya menghentak jantung Duna.

“Tami tadi pergi buru-buru bilang mau ke salon, hapenya ketinggalan di mobil. Dia mau warnain rambut?” tanya Tria penasaran.

“Aduh!” keluh Duna pelan, “Oke kalau gitu,” ucap Duna gugup. “Nanti aku telepon Tami lagi.”

“Eh tunggu!” Tahan Tria, Duna mengembalikan ponselnya ke telinga. “Kamu masih di aula, kan?” tanya Tria. Duna tak menyahut.

“Pulang bareng aja.” Ajak Tria.

Bergeming beberapa saat, Duna memikirkan apa yang harus ia lakukan disaat seperti ini. Besok dia sudah berangkat dan tak akan melihat Tria lagi untuk waktu yang sangat lama. Hasrat di dalam dirinya muncul, untuk terakhir kalinya, ia akan membiarkan dirinya ada di dekat Tria.

Ia pun mengiyakan. Menutup teleponnya dan berjalan ke arah parkiran sambil menenteng tasnya, berniat memberanikan diri untuk menatap wajah Tria untuk terakhir kalinya.

Langkah ragu-ragunya akhirnya tetap membawanya sampai ke mobil Tria yang terparkir di barisan depan. Ia membuka pintu penumpang belakang untuk menaruh tasnya, dan ternyata ada tas Tami yang sama dengan tasnya.

Tria berkata jujur, tas Tami memang tertinggal di mobil, dan pasti anak itu sekarang sedang mewarnai rambutnya di salon.

Bergeleng tak habis pikir dengan kenekatan sahabatnya itu, Duna akhirnya membuka pintu depan dan duduk di samping Tria. Ia melamun sambil pasang safety belt, sampai-sampai tak kunjung berhasil memasukkan ujungnya ke dalam tempatnya. Tria mengamati, ia akhirnya mengulurkan tangannya untuk membantu Duna yang langsung mematung punggung tangan mereka tak sengaja bersentuhan.

Duna buru-buru memalingkan wajahnya yang memerah, pura-pura melihat mobil yang terparkir di sebelah mobil mereka, ia tak tahu kalau saat ini ekspresi wajah Tria sama tegangnya. Cowok itu menyalakan mesin mobil sambil menelan ludahnya dan mengatupkan gigi kencang-kencang. Mulai menyesal mengapa ia mengajak Duna untuk pulang bersama, karena kini dia kebingungan sendiri mengendalikan perasaannya.

Lihat selengkapnya