AS NIGHT FALL BY

Arisyifa Siregar
Chapter #17

17. Tak ada yang berubah

7 Tahun 8 bulan kemudian..


Sengaja tak pernah pulang lama ke rumah setiap liburan, Duna menghabiskan tahun demi tahun dengan berat di perantauan. Ia hanya menginap dua hari, saat kelulusan Tami yang berbarengan dengan acara lamaran Raina. Itu pun ia tak mampir ke rumah. Ia terlalu membenci kedua orang tuanya apalagi ayahnya.

Masa-masa pendidikan begitu berat, setelah lulus dan terjun ke dunia kerja malah lebih berat.

Berita tentang dirinya yang masuk dengan cara tak sehat menyebar dengan cepat dan luas, ia hampir tak punya teman, dan hampir selalu masuk rumah sakit setiap dua bulan karena terlalu stres dan mengeksploitasi dirinya sendiri dalam bekerja agar tak waktunya tak terbuang sia-sia untuk mendengar cemoohan orang tentangnya. Ia punya lima mantan pacar tapi semuanya tak ada yang bertahan lebih dari enam bulan, semua minta putus karena sikap dinginnya.

Saat ini ada satu cowok yang dekat dengannya selama setahun terakhir, Eric, pangkatnya satu tingkat diatas Duna, ia bahkan membantu Duna latihan untuk persiapan kenaikan pangkatnya kemarin, selalu perhatian dan hampir selalu menawarkan bantuan tanpa diminta. Ayahnya juga perwira tinggi, pangkatnya lebih tinggi dari pangkat ayah Duna. Tak heran kalau orang-orang segan padanya, dan mulai bersikap baik pada Duna saat tahu Duna dekat dengannya. Meskipun hanya di depannya saja, di belakangnya semua masih menggunjingkannya suka-suka.

Hari ini pertama kalinya ia pulang ke rumah. Setelah empat tahun lalu mampir dan malah membuat kekacauan karena bertemu dengan Julian yang memintanya memberitahu Tami tentang keberangkatan Kavi ke Amerika, tanpa ia sadari ia menjadi salah satu alasan hancurnya hubungan Kavi dan Tami yang terjalin sudah dua tahun lamanya.

Kalau saja dia tak pulang waktu itu, kalau saja dia tak memberitahu Tami tentang keberangkatan Kavi. Tami mungkin tak akan memergoki Kavi dan Lisa, mereka mungkin masih pacaran atau sudah menikah sekarang seperti Yiran dan Raina .

Kali ini ia pulang bukan tanpa alasan, kondisi kesehatan ibunya semakin menurun. Diabetes dan darah tingginya semakin parah. Duna mendengarkan kata Eric untuk menjenguk ibunya di masa liburnya dia kali ini. Eric sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri, meskipun ia tak tahu apakah cowok itu merasakan yang sama seperti dirinya, yang jelas ia merasa perlu menuruti kata-kata Eric karena tak ada salahnya. Kebetulan Eric juga pulang ke jakarta, jadi dia bisa mengantar Duna pulang di waktu yang sama.

Memasuki kamarnya setelah sekian lama, Duna mencium bau khas dirinya yang masih remaja dulu. Ia melihat dirinya yang sekarang di cermin. Rambutnya saat ini benar-benar pendek tak melebihi telinga, kulitnya sedikit lebih coklat, tubuhnya kurus dan sedikit berotot. Ia menghela nafas, bagaimana bisa punya pacar kalau penampilannya saja tak menarik begini.

Ia bergerak ke meja belajarnya, menyentuh permukaannya lalu membuka jendela kamarnya. Tertegun, melihat rumah Tami dan kamar Tria, yang bisa jadi sudah tak di situ lagi.

Mereka selama ini terlalu sibuk bekerja dan menjalani kehidupan masing-masing, terlebih dirinya, ia benar-benar cukup jarang berkomunikasi dengan Tami dan Raina.

Terakhir video call tahun lalu, Tami bilang sedang membantu persiapkan pernikahan kakaknya. Duna bahkan tak bertanya pernikahan siapa. Karena wajar saja kalau itu pernikahan Tria, dia sudah di usia matang, sangat masuk akal kalau dia menikah dengan salah satu cewek dari banyak cewek yang selalu ada di dekatnya.

Pintu kamarnya diketuk. Duna menengok dan melihat ibunya masuk. Seketika hatinya terenyuh, Ibunya terlihat sangat kurus dan lesu. Ia buru-buru menghampiri dan menuntun ibunya untuk duduk di tempat tidur. Dengan senyum tipis ibunya memegang tangan Duna.

“Gimana kabar kamu, bertahun-tahun nggak pulang, benci banget sama Mama Papa ya?” tanyanya lembut.

Terdiam tak bisa menjawab, Duna hanya memandang tangannya yang dipegang ibunya. Terlalu jujur untuk mengiyakan, terlalu dusta untuk menyanggah. Ibunya menangkap gelagat Duna, ia menggenggam tangan Duna lebih erat. “Maafin Mama ya, yang selalu gak berguna buat kamu setiap kali di depan Papa.”

Tak peduli seberapa Duna kesal dengan Ibunya, ia tahu betul bagaimana ibunya juga tersiksa setiap kali harus menuruti perintah ayahnya yang terlalu keras. Ia membalas menggenggam tangan ibunya sambil menggeleng. “Nggak apa-apa, Ma. Aku ngerti.”

Lihat selengkapnya