AS NIGHT FALL BY

Arisyifa Siregar
Chapter #18

18. Panasnya malam di musim kemarau

Kakinya lunglai, tubuhnya terasa berat. Duna bergerak turun dari kasur, mengambil pakaiannya yang terserak di lantai sekitar tempat tidur. Bergerak sempoyongan mengenakan celana dan jaketnya dengan kesadarannya yang sedikit tersisa. Sekujur badannya sakit, bagian kewanitaannya terasa sangat perih. Namun ia tetap memaksa dirinya untuk meninggalkan kamar hotel yang berbau busuk ini.

Ia menengok, pandangannya yang berkunang mengecek ke kasur sekali lagi. Eric masih tertidur pulas, teler dengan alkohol dan obat-obatan yang diminumnya. Duna memaksa kakinya bergerak keluar kamar. Menyusuri lorong demi lorong sambil merambat di dinding. Menggunakan sisa-sisa tenaganya untuk segera keluar dari hotel bobrok ini.

Di luar, langit sangat gelap. Entah malam atau sudah menjelang pagi. Duna tak tahu. Ia terus bergerak ke arah gang di samping hotel. Namun kakinya tak kuat lagi untuk bergerak. Ia jatuh terduduk di pinggir tempat sampah. Nafasnya tersendat, kepalanya terasa sangat berat.

Tidak bisa seperti ini, ia harus segera pergi sebelum Eric bangun dan menghabisinya lagi. Sambil terus menggeleng kepala dan berusaha memfokuskan pandangannya, Duna membuka daftar kontak di ponselnya.

Entah mengapa disaat seperti ini ia malah teringat ucapan Tria tadi siang. “Kabarin aja kalau butuh bantuan ya.” Mungkin karena kesadarannya tak stabil, atau mungkin memang karena hanya Tria yang selama ini ada di hatinya. Tanpa memikirkan konsekuensinya, ia menghubungi nomor Tria yang langsung mengangkat teleponnya setelah tiga kali nada sambung terdengar.

“Halo, Duna?” Tria terdengar terkejut.

“Kaaak,” ucap Duna lirih, suaranya terdengar merintih. “Tolong, kak, aku, tolong, aku.” Ucapnya terbata-bata.

“Halo? Duna?” Tria panik. “Duna kamu kenapa? Sekarang dimana?”

Menyandarkan kepalanya di tong sampah, Duna melempar pandangan dengan matanya yang setengah terbuka ke bangunan di seberang hotel. “Optik,” ujarnya lemah hampir serupa bisikan. “Optik lencana, merah..” Ia ambruk tak sadarkan diri.

“DUNA?!” seru Tria. Ia mengambil kunci mobil di atas meja dan bergegas keluar rumah. Di dalam mobil ia mencari lokasi optik yang Duna sebut, namun ia menemukan beberapa yang namanya sama. Ia mencoba untuk tetap tenang meski tangannya gemetar. Membuka satu-satu foto yang ada di google terkait optik-optik itu. Sampai akhirnya ia menemukan satu yang tulisan plangnya berwarna merah. Ia pun buru-buru mengenakan safety belt dan memasang peta di ponselnya. Menyalakan mesin mobil dan bergerak menuju lokasi yang diyakininya Duna berada.

Jam dua malam jelas jalanan sangat sepi. Tria hanya butuh dua puluh menit untuk sampai ke lokasi. Ia memarkir mobilnya tepat di depan optik dan turun sambil melemparkan pandangannya ke rolling door optik yang tertutup rapat. Ia menyusuri jalanan di sekitar optik, namun tak menemukan ada satupun orang, ragu untuk berteriak karena takut malah membahayakan Duna karena tak tahu apa yang sedang terjadi.

Ia kemudian berdiri di depan mobilnya, mencoba menelpon nomor Duna lagi, samar-samar terdengar bunyi ponsel di kejauhan. Tria berusaha memfokuskan pendengarannya, dan menyadari suaranya berasal dari seberang jalan. Ia menyipitkan mata, memperjelas pandangan, melihat sepertinya ada orang yang tergeletak di depan tempat sampah.

Meski ragu, dengan jantung berpacu ia menyeberangi jalan. Suara dering ponsel terdengar semakin kencang. Tria bergegas menyambangi sosok berjaket merah jambu yang tergeletak di tanah. “DUNA!” panggilnya panik. Ia langsung menghampiri Duna dan mengangkat tubuhnya.

Bibirnya gemetar saat melihat wajah Duna yang lebam dan bibirnya yang berdarah. Ia kemudian melihat luka di bahu Duna dan menyadari saat ini Duna hanya memakai jaket saja, tanpa baju, tanpa bra. “Dunaaaaa!” panggilnya, mengguncang Duna berusaha membangunkannya. Air menggenang di matanya, tak sanggup melihat keadaan Duna.

Ia pun langsung menggendong Duna, memasukkan ponselnya dan ponsel Duna ke dalam saku lalu berlarian ke arah mobil menerpa udara panas di malam musim kemarau yang panas ini.

Setelah merebahkan di kursi belakang, Tria buru-buru masuk ke mobil dan mengendarainya menuju rumah sakit terdekat. Tangannya gemetar, pikirannya kacau. Sesekali ia menengok ke belakang, mengecek kondisi Duna. Lalu kembali melajukan mobil secepat yang ia bisa.

Tak lama kemudian ia sampai di depan IGD rumah sakit, ia langsung menggendong Duna masuk ke dalam sambil berteriak minta tolong. Staf ruang IGD dan dokter langsung menyambanginya. Memintanya merebahkan Duna di tempat tidur lalu menyarankannya untuk melakukan pendaftaran.

Lihat selengkapnya