Lagi-lagi dia menghilang tanpa kabar, setelah memporak-porandakan perasaan yang sibuk ditata ulang bertahun-tahun ke belakang, Duna lagi-lagi hilang tanpa kabar. Tria terus berusaha menghubunginya namun panggilannya tak pernah dijawab. Pesannya tak pernah dibaca apalagi dibalas.
Tiap malam selama sebulan penuh Tria memandang ke luar jendela, berharap lampu kamar Duna menyala dan dirinya terlihat dari kejauhan. Namun harapannya sia-sia. Kekhawatiran tumbuh subur dalam benaknya. Tak tahu bagaimana keadaannya Duna, membuatnya seperti kehilangan arah.
Sekali ia coba mengecek ke Tami tentang kabar Duna, namun adiknya itu sepertinya malah lebih tak tahu apa-apa ketimbang dirinya.
Meski penuh amarah dan masih tak bisa paham dengan keputusan Duna, saat itu akhirnya Tria tak punya pilihan lain selain mengikuti permintaannya, ia merahasiakan kejadian itu dari siapapun saat mengantar Duna sampai ke depan rumahnya, ia bahkan tak berusaha untuk membujuk.
Duna mengenakan masker untuk menutupi luka di wajahnya, kalau benar dugaan Tria, Duna akan beralasan sakit pada orang tuanya dan akan melanjutkan istirahatnya di rumah. Tria kira ia akan tetap di rumahnya selama beberapa hari, namun keesokan harinya saat Tria memberanikan diri untuk mendatangi rumahnya dengan alasan menjenguk, Bi Marni bilang Duna sudah kembali ke mess-nya Jogja.
Selama hampir tiga puluh tahun hidupnya, Tria tidak pernah merasakan hal-hal seperti yang ia rasakan saat ini. Ia benar-benar tak enak makan, tak enak minum, tak fokus kerja, tak bisa tidur. Otaknya hanya dipenuhi kekhawatiran tentang Duna, yang malah jelas-jelas sengaja mengabaikannya.
Pintu kamarnya di ketuk dan seorang perempuan menjulurkan kepala di celah. “Tria, kamu gak makan lagi?” tanya Amanda.
“Nggak, Kak.” Sahut Tria.
Tiba-tiba Tian muncul dari belakang istrinya. “Lu kenapa sih? Bukannya bantu gue ngepak barang buat pindahan malah di dalem kamar aja.”
Amanda buru-buru mendorong Tian menjauh dan menutup pintu kamar Tria. “Udah jangan diganggu mungkin dia ada masalah.” Ucapnya bijak.
Cemberut tak setuju, “Ya tapi bantuin kek!” keluh Tian.
“Udahh..” Amanda mendorong Tian kembali ke kamar mereka. “Gak banyak kok barang kita,” bujuknya.
Ia merasa Tria bersikap beda akhir-akhir ini sejak memergoki adik iparnya itu buru-buru pergi keluar rumah jam dua malam sebulan lalu. Meski tak tahu apa yang terjadi, sebagai kakak ipar ia hanya ingin memberi ruang dan menjaganya kalau suaminya sudah mulai mau memarahinya lagi.
Keluar dari dalam kamarnya sambil menyampirkan tali tas di bahu, Tami yang mendengar keributan singkat barusan menengok ke kamar Tian dan Tria. Bergeleng-geleng tak paham dengan kedua kakak laki-lakinya yang sudah tua tapi seperti tak kunjung dewasa itu. Lalu bergerak keluar rumah dan terkesiap kaget.
“Kak Julian?” panggilnya bingung sambil menghampiri.