AS NIGHT FALL BY

Arisyifa Siregar
Chapter #21

21. Mencoba untuk tidak menangis

“Dari mana lu?” tegur Tria saat Tami masuk ke rumah dengan wajah cemberut.

“Seberang.” Sahut Tami singkat langsung masuk ke dalam kamarnya.

Kedua tangan Tria menjauhi keyboard laptopnya. Pandangannya dilempar ke arah pintu rumah yang baru saja dilewati Tami.

Seberang? Pikirnya.

Ia berusaha menafsirkan jawaban adiknya tadi.

Sudah lama sejak ia mendengar Tami menggunakan istilah ini. Istilah yang biasanya Tami ucapkan saat dia pamit hendak pergi ke rumah Duna atau baru kembali dari sana. Apa mungkin yang Tami maksud seperti yang ada di pikirannya? Kenapa Tami ke rumah Duna, apa Duna ada di rumahnya?

Tria reflek berdiri, mengambil jaketnya yang tersampir di bahu sofa lalu berjalan keluar rumah. Sambil menyeberangi jalan matanya tak lepas memandang ke rumah Duna. Berpikir harus menggunakan alasan apa untuk mengetuk pintu rumahnya dan menanyakan keberadaan Duna saat ini. Ia terus berpikir dan tak kunjung menemukan alasan yang tepat padahal kini ia sudah memasuki halaman rumah.

Tak ingin membuang waktunya sia-sia karena terlalu lama berpikir, Tria langsung menaiki tangga dan berdiri di depan pintu. Kakinya bergerak ragu-ragu. Sedang menimbang apakah sebaiknya ia coba menelpon Duna dulu atau langsung mengetuk pintu, saat kemudian terdengar suara keributan dari dalam rumah yang terdengar jelas dari posisinya.


Satu tamparan kencang mendarat di pipi Duna sampai dirinya terpental mundur satu langkah ke belakang. Ibunya berusaha keras menahan ayahnya dengan tubuhnya yang lemah, dan malah terhempas jatuh ke sofa saat bersikeras mencoba. Di sudut ruangan Bi Marni menangis kebingungan, ia memilih menyambangi Ibu Duna, membantunya berdiri dan terus memegangi tangannya. Ayah Duna kembali mendekat. Melemparkan satu tamparan lagi di pipi Duna sampai Duna terjatuh terduduk di lantai.

“Hamil kamu bilang? Hamil sama siapa!” Bentak ayahnya. “Kemarin tolak perjodohannya!” Suaranya menggema di seluruh rumah. “Otakmu dimana! Bergaul macam apa! Kenapa malah hamil! Siapa orangnya, bilang!”

Seperti tersambar petir di siang bolong, tubuh Tria terdiam kaku. Matanya berkedip cepat dan kepalanya bergerak ke kanan kiri, berusaha meyakinkan diri ia salah dengar atau yang didengarnya barusan adalah bukan tentang Duna.

Mulut Duna terkatup rapat. Tak ada air mengalir dari matanya. Ia seharusnya merintih, ia seharusnya menjerit. Akan tetapi ia memilih untuk sama sekali tak bersuara. Bahkan saat darah merah mengalir deras membanjiri kakinya dan membasahi lantai yang didudukinya. Ia tetap terdiam dan tak menggerakkan bibirnya.

Saat Ibunya dan Bi Marni menjerit lalu berlari menghampiri, Duna tersungkur di lantai dan kembali kehilangan kesadarannya.

Mendengar jeritan memanggil nama Duna, Tria panik. Tanpa pikir panjang ia langsung membuka pintu dan menerobos masuk ke dalam rumah. Mendapati Duna yang sudah tak sadar, darah segar yang membanjiri lantai, Tria tak berpikir apapun selain mengambil Duna dan menggendongnya. Tak menggubris pertanyaan ayah Duna yang bertanya kenapa dia masuk ke rumah tanpa izin dan ikut campur urusan keluarganya, Tria malah membentak ayah Duna sambil meminta kunci mobilnya.


Keluar dari kamarnya sambil membawa handuk di bahu dan melihat pintu rumahnya terbuka, Tami mengerutkan dahi. Ia menyapukan pandangannya ke seluruh ruang tamu, bergerak ke ruang keluarga dan melongok ke arah dapur. Ia menyerukan nama Tria kalau-kalau kakaknya itu ada di dalam kamar. Tapi Tria tak ada dimana-mana, padahal laptopnya masih menyala di atas meja di ruang tamu.

Menggeleng tak paham dengan kelakuan kakaknya, Tami berjalan ke arah pintu untuk menutupnya. Di ambang pintu ia melempar pandangannya ke rumah Duna, matanya menyipit saat samar-samar melihat sosok mirip Tria seperti sedang menggendong Duna masuk ke dalam mobil ayah Duna. Ia mengucek matanya. Tak mungkin Tria, tapi, mungkin saja itu memang Duna.

Mengingat bagaimana pucatnya Duna saat tadi ia temui, Tami langsung melempar handuknya dan keluar rumah. Menyeberangi jalan, menuju rumah Duna dan melihat mobil ayah Duna pergi dengan buru-buru. Ia menyeberangi halaman dan menaiki tangga, saat hendak mengetuk pintu ia mendengar Ayah Duna tengah bicara dengan suara yang sangat kencang.

Namun apa yang lebih membuat Tami kaget adalah ia mendengar suara ibu Duna membentak suaminya itu tak kalah kencang.

Belasan tahun ia mengenal ibu Duna, wanita itu selalu menurut dan tak pernah meninggikan suara kepada suaminya. Tami terkesiap, sepertinya sesuatu yang besar tengah terjadi.

Ia memutar langkahnya ke arah belakang rumah Duna. Masuk lewat pintu dapur dan langsung menemukan Bi Marni yang tengah menangis gemetaran. Dengan hati-hati ia mendekati Bi Marni yang kelihatan terguncang.

Bi Marni adalah orang yang sangat menyayangi Duna seperti anaknya sendiri. Ia bahkan lebih banyak menghabiskan waktu untuk merawat Duna ketimbang membesarkan anak kandungnya di kampung. Saat Tami menyentuh punggung Bi Marni, ia merasakan Bi Marni benar-benar gemetaran, menangis terisak tapi berusaha tak bersuara.

Saat melihat Tami, Bi Marni menggenggam tangannya dan berusaha untuk berhenti menangis. “Neng Duna keguguran.” Ucapnya terbata-bata.

Lihat selengkapnya