Berlarian menyusuri lorong demi lorong, ruangan demi ruangan di rumah sakit, Tria bersama dengan satpam dan beberapa perawat belum juga menemukan Duna yang tiba-tiba menghilang saat dirinya beli makan siang.
Jantungnya berdegup kencang, pikirannya panik tak karuan, khawatir terjadi sesuatu pada Duna yang bahkan tak mau menyantap makan dan minumnya sama sekali selama di rumah sakit.
Terdiam sejenak sambil mencoba berpikir kalau jadi Duna kira-kira kemana ia akan menuju. Matanya berkelebat, langsung bergerak lagi menuju ke tangga darurat. Kakinya menaiki anak tangga demi anak tangga dengan cepat sampai tiba di lantai lima rumah sakit dan mendapati pintu keluar ke rooftop. Keringatnya bercucur, nafasnya terengah, memandang ke sekeliling dan mencari keberadaan Duna.
“DUNA!” teriaknya, melihat Duna berdiri di pinggir bangunan sambil melihat ke bawah. Tria segera berlari menghampiri dan menarik tangan Duna, memeluknya erat.
Telinga Duna yang menempel di dada Tria mendengar betapa kencangnya jantung Tria berdetak. Ia buru-buru mendorong Tria menjauh sambil menatap penuh amarah. “Aku bilang jangan ikut campur urusan aku!” bentaknya.
Tria menatap Duna dengan tatapan tersiksa. “Duna, please, kasih aku kesempatan.”
“Buat apa, Kak?” seru Duna. “Buat apa Kak Tria mau bantu aku? Karena kasihan? Karena mau beramal baik? Karena aku menyedihkan?”
“Nggak, Duna!” Tria bergerak selangkah mendekat. “Aku..” Ia terbata. “Aku..” Ia menggaruk kepalanya frustasi. “Aku sayang sama kamu!” serunya buru-buru.
“Hah!” Duna menghembuskan tawa, kemudian ia terbahak dengan tatapan mata kosongnya.
Di hadapannya Tria bengong kebingungan. Tawa Duna lebih terlihat seperti tangisan kesedihan.
“Setelah bertahun-tahun, Kak Tria masih anggap aku lelucon?” ucapnya kemudian.
Memejamkan matanya frustasi, Tria berusaha untuk tetap tenang menghadapi Duna yang sedang terguncang. “Aku nggak pernah nganggep kamu lelucon Duna, sekarang ataupun dulu!” Jelasnya penuh kelembutan.
Alisnya bertaut, “Nggak lucu, Kak Tria.” Geleng Duna.
Tria mulai kehabisan sabar, ia mendekat ke Duna dan memegangi kedua tangannya. “Liat mata aku!” tekannya sambil menatap mata Duna lekat-lekat. “Ada keliatan aku lagi bercanda? Apa selama kamu kenal aku, aku pernah bercanda sama kamu?”
Mata Duna bergerak ke kanan dan ke kiri, menatap dalam ke pikiran Tria yang terpancar dari caranya memandang. Menyadari betapa serius Tria dalam ucapannya. Bibir Duna bergetar, hidungnya berkerut. Ia menundukkan kepalanya dan menangis. Tersiksa dengan takdir yang seakan-akan sedang mempermainkannya.
Ia masih menyukai Tria, setelah belasan tahun berlalu, perasaannya tak pernah berubah. Berkali-kali ia coba pacaran dengan pria lain, semua berujung gagal karena tanpa sadar yang ia lakukan di alam bawah sadarnya hanya selalu membandingkan mereka semua dengan Tria. Seharusnya sekarang ia sedang bahagia, seharusnya ia sudah melompat kegirangan. Mendengar Tria mengungkapkan rasa sayang padanya secara tiba-tiba barusan, melihat dengan mata kepalanya sendiri Tria mengajaknya menikah, semua adalah hal yang bahkan tak pernah berani ia idam-idamkan.
Semestinya ia bahagia.
Namun yang ia rasakan justru sebaliknya, dengan Tria mengetahui semua masalah terburuknya, berada di sampingnya dalam masa-masa sulit ini, tiba-tiba mengajaknya menikah, tiba-tiba mengungkapkan kalau dirinya menyayangi Duna. Semua menambah cemoohan takdir pada hidupnya.
Bagaimana bisa ia menerima Tria saat dirinya bahkan tak bisa menerima keadaannya sendiri? Dari semua orang di dunia ini kini ia paling membenci dirinya. Bagaimana bisa ia berpikir positif tentang semua yang Tria ucapkan padanya? Ia bahkan tak berpikir kalau Tria benar-benar menyukainya, ia meyakini kalau Tria hanya mengasihaninya dan karena sudah terlanjur mengetahui semua masalah ini, merasa perlu membantu untuk menciptakan jalan keluarnya.
Tria mengulurkan tangannya, memeluk Duna dengan erat sambil mengusap-usap bahunya. Ia sudah bertekad untuk menikahi Duna, tak peduli berapa banyak tantangan dan omelan yang ia dapatkan nantinya, ia tak peduli.