Bagai dicambuk kawat berduri Duna merasa sakit disekujur tubuh dan ingin berteriak sekencang-kencangnya saat melihat Eric duduk di ruang tamu rumahnya. Pria tak tahu diri itu mengobrol dan tersenyum bersama ayahnya dengan begitu santainya, seakan tak ada hal mengerikan yang pernah ia lakukan terhadap Duna, seakan peringatan Duna agar ia menjauh dari hidup Duna seperti gertakan yang dipandang sebelah mata.
Gigi Duna gemeretak dan tangannya mengepal kencang menahan rasa lemah yang tiba-tiba mendera seperti tulang-tulangnya melepaskan diri dari badan, saking kencangnya ia mengepal telapak tangannya terasa perih tertusuk oleh kukunya sendiri.
Bahrain, ayah Duna, menengok dan menyuruhnya untuk duduk di sofa, terlihat jelas sedang berakting kalau keadaan baik-baik saja dan ini adalah waktu yang tepat untuk membahas masalah pertunangan mereka, berusaha meyakinkan bahwa itu tindakan yang sebaiknya jangan ditunda.
Di seberang ruangan Dahlia mengawasi, memperhatikan ekspresi dan tanggapan Duna terhadap kedatangan Eric dan ucapan Bahrain. Nalurinya sebagai ibu mengatakan bahwa Eric, laki-laki ini mungkin adalah sumber dari semua masalah anaknya.
Meski sebelumnya sempat berpikir siapapun laki-laki yang merusak hidup Duna harus bertanggung jawab, melihat saat ini anak semata wayangnya melemparkan sorot mata penuh kebencian dan jijik ke arah Eric, Dahlia langsung menyeberangi ruangan. Menarik tangan Duna dan membawa anaknya kembali ke kamar.
“Kamu yakin gak mau terima tawaran Tria?” desak Dahlia, terang-terangan bersikap egois untuk kebahagiaan anaknya sendiri. Duna yang tengah terguncang dengan fakta bahwa Eric adalah orang yang lebih kurang ajar dan lebih keras kepala dari yang ia pikirkan, mulai goyah pendiriannya.
Sejak awal ini alasan dia tak mau melaporkan masalah pelecehan itu ke orang tuanya apalagi polisi seperti kata Tria, ia bisa menebak, kalau ia melakukan itu, hasilnya akan seperti ini. Gambaran hidupnya yang akan jauh lebih buruk dari sebelumnya, terbayang jelas di otaknya.
Sebagai militer, laporan Tria akan dilakukan ke polisi militer, dan tentu sebelum itu terjadi, semua akan sampai ke telinga ayahnya. Ayahnya yang gila kedudukan, ayahnya yang gila kehormatan, malah akan memanfaatkannya untuk punya menantu yang latar belakangnya ia sukai seperti Eric. Ia hanya akan memaafkan Eric, ia akan memaksa Duna menikah seperti yang sekarang ia lakukan, dan Duna ujung-ujungnya hanya akan menjadi wanita rendahan di keluarga Eric dan entah bagaimana perlakuan Eric dan keluarganya nanti. Tapi jauh dari itu, yang lebih penting, Duna sama sekali tak mau hidupnya disangkut paut dengan mahluk menjijikan seperti Eric.
“Sekarang mama coba usir itu orang dulu,” sambung Dahlia, “Tapi kamu tau sendiri gimana kerasnya papa kamu, dia gak bakal berhenti sampai kamu nikah.” Ia memegang kedua tangan Duna.
“Mama tahu ini semua bukan salah kamu, mama juga tahu kamu gak berhak didesak kayak gini, tapi untuk kebaikan kamu sendiri, mama harap kamu bisa ambil keputusan segera. Apapun keputusan kamu, mama akan dukung sekalipun itu harus pisah sama papa kamu dan ninggalin rumah ini.” Dahlia menepuk-nepuk bahu Duna lalu bergerak meninggalkan kamar.
Kembali termenung sendiri di dalam kamarnya, Duna menatap ke jendela. Dirinya diambang jurang, ia tak ingin kembali kerja sebagai tentara, ia juga tak bisa langsung mencari kerja yang lain tanpa persiapan karena tak punya pengalaman, dia tak punya cukup uang untuk pergi dari rumah dan bertahan tanpa pekerjaan beberapa bulan tabungannya tak banyak karena selama ia bekerja ia diharuskan mentransfer sebagian pendapatannya ke ayahnya yang tak mau ia hidup foya-foya. Ia pun tak bisa tetap berdiam seperti ini karena dengan karakter ayahnya, dia bahkan bisa diseret ke pelaminan atau dibuang kapan saja dari rumah.
Ucapan ibunya tadi juga membuat kepalanya semakin berat memikirkan masa depannya, ia tak ingin mengacaukan hidup ibunya di masa tuanya yang sudah sakit-sakitan. Kalau ibunya benar-benar nekat melindunginya sampai berpisah dengan ayahnya, bagaimana kalau mereka berdua kedepannya makin kesulitan, bagaimana kalau ibunya makin sakit-sakitan. Keadaan ini benar-benar menyiksa, namun seperti kata ibunya, dia harus membuat keputusan segera. Demi kebaikan dirinya.
Ponselnya berbunyi, satu chat baru masuk dan muncul di layar notifikasi.
“Aku udah tahu apa yang terjadi, aku bener-bener minta maaf, aku akan tanggung jawab dan nebus kesalahan aku. Orang tua aku udah setuju buat ngelamar kamu.” Tulis Eric, membuat Duna seketika merasa mual.
“Lebih baik gue mati!” balas Duna, lalu berjalan ke arah jendela kamarnya dan melemparkan pandangannya ke seberang jalan.
Seketika ia tertegun, mendapati Tria sedang berdiri di dalam kamarnya dengan jendelanya yang juga terbuka dan memandang ke arahnya.
Dalam jarak beberapa puluh meter, keduanya saling tatap. Nafas Duna terasa tersumbat dan jantungnya berdetak dengan lambat, selama sekian detik mereka saling tatap, Duna menetapkan keputusan.
Ia mengangkat ponselnya di tangan dan menelpon Tria. Menyaksikan sendiri bagaimana Tria langsung menjawab panggilannya sambil tetap menatap ke arahnya.
“Kak Tria,” ucap Duna.
“Em?” Sahut Tria lembut.
“Tawaran kakak masih berlaku?” tanya Duna datar.
Tria mengerutkan dahi. “Tawaran?” ia tak yakin.
“Kalau aku terima, tapi aku punya persyaratan?” Lanjut Duna, tak menggubris kalau Tria masih belum terlalu paham dengan ucapannya dan sekarang makin bingung.
“Maksudnya?” Tria harap-harap cemas.
“Kalau ada waktu,” Bukannya menjelaskan Duna malah melanjutkan, “Kita diskusi sebentar.”
Seketika mata Tria berbinar, “Em, mau malam ini?”
“Kabarin aja tempat sama waktunya,” sahut Duna, lalu memutus panggilan dan bergerak meninggalkan jendela.
Tersenyum lebar, Tria langsung mengirimkan nama restoran dan jamnya ke Duna, lalu menutup jendela kamarnya dan mengambil handuk di belakang pintu, bergerak keluar kamar sambil bersenandung.
Saat berpapasan dengan Tami yang baru keluar dari kamar mandi, Tria langsung melenyapkan senyum dari wajahnya dan tak ingin memancing rasa ingin tahu Tami.
Padahal dengan mata tajam dan intuisi sensitifnya Tami bisa melihat dengan jelas kalau Tria sedang sumringah.