Tina membuka pintu apartemennya dan terkejut karena Tria, anak keduanya, benar-benar datang ke tempat tinggalnya di Singapura. Kemarin lusa saat Tria menanyakan alamat tempat tinggalnya dan bilang akan datang, ia tak terlalu menganggap serius ucapan Tria bahwa dirinya ingin bicara secara langsung karena mau meminta izin terhadap sesuatu. Tapi kini saat Tria duduk di hadapannya di ruang tamunya yang terbilang sempit, Tina bisa merasakan aura kesungguhan yang terpancar dari sorot matanya.
“Kamu dari kantor langsung kesini?” tanya Tina sambil menyodorkan segelas teh hangat ke Tria.
Mengangguk sambil meminum tehnya perlahan. Tria merasa jantungnya berdetak kencang karena rasa gugup yang tiba-tiba menghantui. “Ma,” ucapnya hati-hati. “Aku datang kesini karena mau minta izin. Aku mau nikah,” ucapnya tanpa basa-basi.
Tina mengamati cara Tria berbicara dan ekspresinya yang penuh dengan kewaspadaan. “Kalau kamu datang mendadak gini, dan tiba-tiba minta izin kayak gini. Bisa mama tebak, bukan sama Kamila, kan?”
Mengerjap terkejut ibunya tahu, namun tak ingin membuang waktu untuk menanyakan kenapa ibunya bisa berpikir seperti itu, Tria hanya mengangguk. “Aku mau nikah sama Duna.”
“Duna?” Tina mengerutkan hidung sambil berpikir dengan seksama.
“DUNA?” Ia terperanjat kemudian, “Duna temannya Tami?” matanya melotot maksimal.
Tria mengangguk. Seketika Tina menganga. Ia tak ingin langsung memberi tanggapan. Ia mengamati ekspresi wajah Tria dan ketenangannya yang tampaknya berasal dari keteguhan hati. Meski tak tahu bagaimana ceritanya tiba-tiba Tria minta izin ingin menikah dengan Duna, Tina yakin anaknya ini punya alasan yang kuat, dan ia selalu menghargai keputusan apapun yang diambil oleh anak-anaknya, selama tak merugikan diri sendiri dan orang lain.
Ia pun menarik nafas dalam-dalam. “Kapan kamu mau nikahnya?”
“Mama gak tanya alasannya?” Tria malah balik bertanya, ia sudah mempersiapkan puluhan kemungkinan yang akan ditanyakan oleh ibunya dan sudah mengatur apa sejauh mana ia akan menyampaikan penjelasan untuk membuat ibunya paham. Tak menyangka ibunya menerima tanpa bertanya apapun seperti ini.
Melihat kebingungan Tria, Tina tersenyum. “Tria, kamu itu bisa dibilang anak mama yang paling sensitif. Dari luar kamu mungkin keliatan cuek dan gak peduli, tapi mama tahu aslinya kamu itu banyak pertimbangan dan berusaha untuk melakukan yang terbaik. Jadi, mama yakin, kamu udah memikirkannya matang-matang dan punya alasan yang kuat untuk tiba-tiba menikah sama temen adik kamu sendiri.”
Tersentuh dengan kebijaksanaan dan kelembutan hati ibunya, Tria hampir berkaca-kaca. “Aku nggak nyangka mama berpikir aku kayak gitu, selama ini aku ngerasa dibanding Kak Tian dan Tami, aku lebih gak bisa diandalkan.”
Menatap dengan teduh, Tina tersenyum lagi. “Justru mama lihat, kamu memang sengaja biarin kakak sama adik kamu yang ambil keputusan dan bertindak karena kamu gak mau ngecewain atau gak memenuhi ekspektasi mereka kan?”
Sungguh, Tria tak pernah berpikir kalau ibunya yang sudah meninggalkannya untuk kerja di luar negeri sejak ia masih remaja, dan hanya pulang sesekali di masa liburan, ternyata memahami dirinya lebih dari ia mengerti dirinya sendiri. Sejak menelpon ibunya kemarin lusa sampai hendak menyampaikan maksud kedatangannya tadi, ia benar-benar resah dengan kemungkinan tak diberikan izin untuk menikahi Duna. Namun ternyata ia malah mendapatkan hal yang lebih membahagiakan dari sekedar restu dari pembicaraan mereka hari ini.
“Aku akan berusaha untuk jadi lebih baik lagi, Ma. Aku pengen bisa diandalkan, aku pengen melindungi dan merawat Duna.” Ungkap Tria, teramat menyentuh hati ibunya.
“Jadi, nikahnya mau kapan?” ulang Tina. Anaknya datang dengan terburu-buru seperti ini, tak mungkin untuk meminta izin menikah beberapa bulan kedepan.
“Akhir minggu ini, Ma.” Jawab Tria.
Seketika Tina ternganga. Meskipun sudah menduga kalau akan dilakukan dalam waktu dekat, ia tak memperhitungkan kalau akan sedekat ini. Terbesit keinginan untuk menanyakan alasan kenapa anaknya terburu-buru seperti ini, tapi sekali lagi, ia sudah bertekad untuk menghargai keputusan anaknya.
“Oke,” akhirnya Tina mengangguk. “Mama balik ke rumah Jum’at ini.” Ia menghela nafas pelan. “Tria, tapi semua baik-baik aja kan?” tanyanya, tak berhasil menyembunyikan kekhawatiran. “Ada yang perlu kamu ceritain sama mama gak?”