AS NIGHT FALL BY

Arisyifa Siregar
Chapter #25

25. Mengamati untuk menangani

Setelah semua yang terjadi dan terlewati, diiringi keraguan yang tetap membelenggu erat, menumpuknya rasa benci akan diri sendiri dan pandangan orang lain yang penuh dengan tanda tanya, Duna memasuki aula pernikahan dengan gaun putih sederhana yang Ibunya pilihkan. Semua pandangan segelintir orang yang diundang ke acara pernikahan ini tertuju padanya, ada yang masih kaget, ada yang heran dan ada yang menatap penuh kebencian. Sedangkan Tria, berdiri di ujung ruangan, menunggu Duna yang berjalan ke arahnya dengan mata berkilau penuh kebahagiaan.

Dalam hati Tria sadar kalau pilihannya ini mungkin akan berubah menjadi penyesalan, tindakannya ini mungkin bukan hal yang bisa dibenarkan, tapi ia tetap ingin melakukannya.

Ia merasa menemukan tujuan hidup. Sebelumnya ia tak pernah begitu semangat untuk mengawali hari dan melakukan sesuatu meskipun ia pikir itu hal yang paling ia suka. Akan tetapi untuk menyambut hari ini, ia bahkan tak bisa tidur nyenyak semalam. Berkali-kali melihat ke arah jam tak sabar ingin bertemu dengan Duna di aula pernikahan sederhana mereka.

Di bangku tamu undangan, di samping Tami yang sekuat tenaga sedang menahan amarah yang membakar dada, Julian tersenyum penuh haru. Ia tak menyangka akan melihat sosok Tria bisa memandang wanita dengan tatapan penuh kasih yang teduh. Meskipun sampai detik ini sahabatnya itu tak menceritakan sama sekali alasan dirinya tiba-tiba menikahi Duna dan baru mengabarkan beberapa hari sebelumnya, Julian tahu kalau rasa cinta Tria ke Duna lebih besar dari apa yang ia kira. Ia pun melirik Tami, gadis yang disukainya ini sampai sekarang tampaknya belum sadar akan perasaannya tak peduli seberapa dirinya berusaha menunjukkan.

Tami merasakan pandangan Julian padanya, ia menggerakkan matanya ke sudut. “Kak Julian tahu kenapa mereka tahu-tahu nikah?” tanya Tami tiba-tiba.

Menggeleng, mengangguk, menggeleng kemudian mengangguk lagi. Julian bingung sendiri dengan jawaban yang ada di pikirannya. “Kalau detail-nya aku gak tahu,” jujurnya. “Tapi sebagai temen Tria, aku tahu jelas kalau Tria bener-bener cinta sama Duna.”

Tertegun dengan apa yang barusan didengarnya, Tami tiba-tiba merasa dirinya picik dan egois. Tatapan kebenciannya mulai meleleh, meskipun masih sulit untuk keluar dari rasa kecewa dan kesal yang menenggelamkannya, ucapan Julian barusan seakan menggelitik Tami untuk sadar bahwa dalam hidupnya ada perasaan orang lain yang perlu dipertimbangkan, yaitu Tria, kakaknya, yang selama ini justru, tak pernah ia pikirkan.

Sejak dulu ia tahu betapa Duna menyukai Tria, sejak saat itu juga ia selalu ikut campur dan berusaha agar Duna tak ada hubungan dengan Tria, namun nyatanya ia tak memperhitungkan, bagaimana perasaan Tria. Hal penting yang justru terlewatkan adalah sejak kapan Tria ternyata jatuh cinta pada Duna, dan sebesar apa perasaannya sampai rela berkorban memberikan hidupnya untuk Duna.

Ketika memikirkannya, Tami sampai pada titik dimana ia harus memetakan kembali rasa kesalnya. Ia bukan membenci pernikahan Tria dan Duna, ia tak membenci Duna yang tak mendengar sarannya agar tak berhubungan dengan kakaknya, ia juga tak membenci Tria yang setelah banyak punya pacar akhirnya berlabuh ke sahabat adiknya. Yang ia benci saat ini adalah cara mereka menutupi masalah yang terjadi sebenarnya, bagaimana mereka mengeliminasi dirinya dari kehidupan baru yang mereka buat entah atas dasar kesepakatan apa.

Ia pun menengok ke Tian dan Ibunya, kakak sulungnya itu terlihat bahagia, wajah ibunya pun dihiasi dengan senyum merekah. Mereka tampak senang dengan pernikahan tiba-tiba yang penuh kejanggalan ini, tak tepat rasanya kalau dia menunjukkan rasa kesalnya secara terang-terangan. Bagaimanapun ia membenci kenyataan bahwa ada yang dirahasiakan oleh Tria dan Duna, keduanya pada akhirnya bersatu dan memilih untuk bergantung satu sama lain. Meski tak yakin ia akan memaafkan keduanya, Tami memutuskan untuk memendam rasa bencinya, dan berharap, Duna masih melihat dirinya sebagai sahabat dan nanti kalau keadaan sudah jauh lebih tenang, mau menceritakan kejadian yang sebenarnya. Ia harap hari itu datang dan ia bisa melupakan semua kemarahannya. Lalu memaafkan mereka.

***


Canggung, tak ada kata lain selain, canggung. Tria sudah berusaha mengulur waktu selama mungkin dengan keluarganya, dan pada akhirnya semua akan tetap masuk ke dalam kamar masing-masing, dan tiba juga saatnya dia harus masuk ke dalam kamarnya, bersama Duna.

Setelah berdiskusi beberapa hari sebelumnya, mereka sepakat untuk menetap di rumah Tria, mengesampingkan bagaimana respon Tami tentang pernikahan mereka. Duna dan Tria sepemaham bahwa tujuan utama pernikahan kontrak mereka adalah mengeluarkan Duna dari rumahnya, jadi jelas pilihan satu-satunya adalah tinggal di rumah keluarga Tria. Toh pernikahannya hanya pura-pura, kata Duna, tak perlu berusaha terlalu keras untuk memisahkan kehidupan pribadi dan keluarga. Itu yang ia katakan saat Tria menyarankan untuk tinggal di rumah kontrakan atau hal semacamnya.

Kini di dalam kamar mereka berdua berdiri berdampingan, mulai kebingungan menghadapi situasi. Duna bergerak ke arah kopernya yang ada di pojok kamar, membukanya dan mengeluarkan satu map lalu menyerahkannya pada Tria. “Ini kontraknya, dibaca dulu aja semisal ada yang bikin Kakak keberatan, kita diskusi lagi.”

Mencengangkan, segala tindakan dan ucapan Duna selalu mencengangkan.

Bahkan disaat Tria sedang gugup menghadapi malam pertamanya sebagai suami Duna, Duna malah fokus ke masalah kontrak pernikahan dan mengucapkan hal barusan dengan santainya. Tampaknya bagi Duna semua memang hanya pura-pura semata. Ia tak mempertimbangkan perasaan Tria yang sungguh-sungguh mencintainya.

“Oke,” sahut Tria pada akhirnya, mengambil map yang Duna berikan dan memasukkannya ke dalam tas kerjanya.

“Jadi..” gumamnya kemudian, Duna menengok dan memperhatikan ekspresi gelisah yang ada di wajah Tria. “Kamu bener-bener mikir kalau ini pernikahan kontrak aja? Kamu gak ada perasaan apa-apa sekarang?”

Lihat selengkapnya