Tidak bisa begini terus, pikir Duna. Ia sudah sejam lebih melamun di ruang tamu. Setelah dia jatuh tertidur di hadapan Tria, keesokan paginya Tria menanyakan tentang obat-obatannya, Duna akhirnya menahan diri untuk tak meminum obat-obatannya karena takut hal yang sama terulang lagi.
Sejujurnya ia benar-benar malu Tria melihat sisi dirinya yang lebih buruk dan buruk lagi, bahkan bagaimana wajah Tria yang kesal melihat dirinya merokok sambil bicara melantur, terbayang jelas di otaknya, membuatnya merasa lebih malu lagi dan lagi.
Sudah sebulan sejak hari itu, entah memang sibuk atau karena menghindarinya, Tria makin jarang pulang dan sering menginap di kantor.
Tami sendiri hampir tak kelihatan batang hidungnya. Setiap ada di rumah ia benar-benar menghindari Duna, seperti menganggap Duna tak ada.
Sebulan ini, Duna sendirian sepanjang hari, sesekali ibunya datang mengecek keadaannya, setiap pagi siang dan malam Bi Marni mengantar makanan untuknya. Ia benar-benar tak punya kegiatan. Ia mulai menjelajahi situs lowongan kerja untuk mencari pekerjaan yang sekiranya bisa ia lamar. Namun semuanya terhalang batas umur atau pengalaman kerja. Alhasil ia malah tambah frustasi karena tak menemukan lowongan yang bisa dilamar.
Sebulan penuh ia berdiam diri di rumah tanpa ada kegiatan, tubuhnya mulai terasa lemas karena otot-ototnya jarang bergerak, malamnya makin susah tidur karena tidak lelah dan tidak minum obat, siangnya bosan karena tak ada kegiatan. Sejam termenung ia akhirnya memutuskan, ia tak bisa berdiam diri begini. Satu-satunya yang langsung terpikir olehnya hanya Malik. Meski masih ragu, ia langsung mencari kontak Malik dan menelponnya.
Sempat ragu panggilannya akan dijawab, ternyata Malik mengangkat teleponnya cukup cepat. Menyerukan sapaan ramah dan menanyakan kabar Duna.
Tanpa basa-basi Duna langsung bilang ingin bertemu. Terdiam beberapa saat karena mungkin kaget dengan permintaan Duna, Malik akhirnya menyuruh Duna untuk datang ke salon tempat kerjanya. Dengan sumringah Duna langsung mengiyakan dan bergegas menuju alamat yang Malik berikan.
Sesampainya di salon, Duna terperangah. Tak menyangka Malik menjadi Manager di salah satu salon yang tak begitu besar namun ramai pengunjungnya. Ia menyambut Duna dengan senyuman ramah, mengajaknya untuk mengobrol di dalam ruangannya.
“Gue nggak nyangka lu nikah sama kakaknya Tami.” Ungkap Malik sambil menyuguhkan secangkir teh. “Gue inget banget lu suka sama dia dari kecil, kan.”
Mulut Duna terkatup rapat. Malik mulai curiga dengan ekspresi Duna yang sama sekali tak terlihat bahagia.
“Lu minta ketemu karena ada yang mau lu ceritain kan?” tanyanya. Lumayan paham dengan gelagat Duna yang tak pernah berubah sekalipun mereka sudah bertahun-tahun tak bertemu.
“Boleh gue cerita dan minta tolong sama lu?” tanya Duna ragu.
Malik mengernyit, “Emang kenapa?”
“Yaa..” gumam Duna. “Ya dulu kan lu kesel sama gue.”
Malik menghembuskan tawa. “Oh, lu khawatir tentang itu. Nggak lah, gue gak dendaman orangnya. Lagi pula kita kan putus karena kesepakatan bersama.”
Duna menyunggingkan senyum, tak ada yang tahu, bahkan Tami atau Raina, kalau sebenarnya empat tahun lalu Duna dan Malik sempat pacaran. Malik adalah pacar kedua Duna, mereka mulai pacaran karena bertemu di Jogja saat Malik dinas luar kota dan entah bagaimana caranya Duna pun tak terlalu ingat, keduanya memutuskan untuk punya hubungan setelah dua minggu sering jalan bareng.