AS NIGHT FALL BY

Arisyifa Siregar
Chapter #28

28. Cemburu

Selama hidupnya, Tria hanya pernah dua kali mengalami hal seperti ini, saat berniat mengambil keputusan.

Pertama saat memilih jurusan kuliah, ia benar-benar tidak bisa fokus mengerjakan apapun, bahkan tak bisa merasa lapar walaupun seharian tak makan. Sekarang, setelah sembilan tahun terlewati, ia kembali mengalami hal yang sama. Sudah dua hari gunda, tak tahu harus melakukan apa.

Duna pergi sebelum dia bangun, pulang larut malam, tanpa mengabari kemana dan apa yang sedang ia lakukan.

Tria mulai frustasi, sebulan ini ia berusaha menjaga sikap dan memberi ruang untuk Duna agar bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Sesungguhnya Tria sangat terpukul dengan keadaan Duna dan konsumsi obat-obatannya, dia tak pernah menyangka kalau sampai sekarang Duna masih kesulitan menjalani hidupnya. Sebagai pria yang menawarkan diri dan meyakinkan untuk melindunginya, Tria merasa tak berguna dan tak bisa apa-apa. Karenanya ia mengatur jarak, agar perasaannya tak memberatkan Duna, agar Duna bisa lebih leluasa menyembuhkan dirinya.

Tapi dua hari kemarin, keadaan benar-benar mengarah ke keluar kendalinya. Sebagai pria yang ingin memiliki tempat di hati istrinya sendiri, Tria merasa kesal karena tak berdaya.

Hari pertama ia menahan sekuat tenaga untuk tak bertanya. Hari kedua, semalam, kebalikan dari keadaan biasanya, Duna langsung tidur begitu tubuhnya menyentuh ranjang. Sementara Tria terjaga sepanjang malam dengan hati resah.

Belum bisa tidur, Tria memilih mengawasi Duna yang pagi-pagi sudah bangun dan langsung mandi. Saat Duna kembali ke kamar dengan mengenakan baju kemeja biru dan celana jeans, Tria tengah duduk di sofa yang juga tempat tidurnya, sambil menatap ke arahnya.

“Kamu kemana akhir-akhir ini?” tanyanya sudah tak tahan. Tak peduli seberapa lama ia menimbang-nimbang, hasratnya untuk bertanya tetap tak tertahan.

“Kerja,” sahut Duna singkat tak berani menatap Tria.

“Dimana?” tanya Tria, berusaha untuk tak menekan Duna namun jelas gagal karena mau dia bersikap sehati-hati apapun, di mata Duna, Tria selalu superior baginya.

“Di Salon temen.” Duna bergegas mengambil tasnya dan bergerak ke arah pintu. “Aku berangkat dulu.” Katanya lalu meninggalkan kamar.

Ada sedikit ketenangan yang menghapus kekhawatirannya saat Duna bilang bekerja di salon teman. Meskipun tak tahu siapa teman yang dimaksud dan dimana salonnya, informasi itu saat ini cukup untuk membuat Tria mulai merasa rileks. Ia merebahkan badannya lagi dan menutup matanya. Hari ini dia tak ingin berangkat kerja. Sudah sebulan ini dia mengerjakan proyek iklan perusahaan otomotif ternama, tak akan ada yang proses kalau dia minta cuti satu hari. Ia terlelap, membayar tidur yang tak ia dapatkan semalam.

***

“Udah dimana lu?” seru Julian di seberang saluran.

Tria melambatkan laju mobilnya lalu berhenti. Tak menjawab pertanyaan Julian di telepon, dia malah sibuk memicing mata dan memandang keluar dari jendela mobilnya. Ia sempat ragu dengan matanya, tapi sekarang setelah dipertegas pandangannya, memang benar yang sedang berjalan di pinggir trotoar bersama seorang pria berkacamata itu, adalah Duna.

Dunia seakan bergerak lambat, melihat Duna tersenyum dengan seorang pria, senyum yang tak pernah ia lihat hampir satu dekade ini, jantung Tria terasa seperti berhenti berdetak.

Otaknya berfungsi semakin lambat, sampai tubuhnya membeku karena tak ada instruksi untuk bergerak yang dikirim dari otaknya. Matanya tak beralih sedikitpun, terpaku ke Duna yang berjalan masuk ke sebuah salon.

Perlahan otak Tria kembali bekerja, mengingat ucapan Duna tadi pagi tentang bekerja di salon temannya. Lalu, teman yang dimaksud bisa jadi bukan wanita? Siapa? Siapa pria yang bisa membuat Duna tersenyum seakan tak ada luka di dalam hatinya itu. Nafas Tria mulai menderu, ia mematikan mesin mobilnya dan bergerak keluar. Langkahnya berdentum di permukaan jalan, seraya kakinya bergerak mendekati salon.

Begitu ia membuka pintu, ia langsung mendapati Duna sedang memegang sapu, memandang ke arahnya dengan tatapan terkejut yang luar biasa, lalu setelah mereka saling tatap beberapa saat, sorot matanya berganti ketidaknyamanan yang diselimuti amarah.

Ia meletakkan sapunya dan bergerak menyambangi Tria. Menggenggam pergelangan tangan Tria dan menariknya keluar. Dengan cepat menyeret Tria beberapa meter dari salon baru berhenti dan menatap dengan emosi.

“Kak Tria ngapain disini?” tanya Duna kelihatan jelas tengah berusaha untuk tidak marah.

Lihat selengkapnya