“You okay, bro?” tepuk Julian di pundak Tria.
Sahabatnya ini sejak tadi berdiam diri, termenung di kursinya, padahal lawan bicaranya sudah sejak tadi meninggalkan restoran, tapi dia belum beranjak sama sekali.
“Itu tadi siapa? Temen Duna?” Julian penasaran, bukan maksudnya menguping, tapi karena penasaran ia mendekat, karena mendekat, ia mendengar sekelebat.
“Em.” Angguk Tria, tatapannya kosong.
“Dia bukannya anak yang dulu ngajarin Duna naik sepeda, ya?” gumam Julian. Lalu kembali menatap Tria yang seperti orang kena hipnotis. “Lu kenapa si, Dan?” tanyanya lagi.
Bukannya menyahut, Tria malah menengok dengan sorot mata penuh semangat, “Gue balik dulu!” ujarnya tiba-tiba, langsung beranjak dari kursi dan berlari meninggalkan restoran, juga Julian yang melongo bingung.
“Sebenernya kenapa sih tuh anak?” gerutu Julian. Seumur hidup berteman dengan Tria, baru kali ini menyaksikan temannya itu bertingkah seperti orang bodoh.
Tria masuk ke mobilnya, tapi tak langsung menginjak pedal gas setelah menyalakan mesin. Ia mengingat kembali obrolan singkat dia dan Malik tadi.
“Kita emang pernah pacaran, Kak, tapi kita gak lebih dari sekedar sahabat sekarang.” Ucap Malik.
Awalnya Tria kesal mendengar ucapan itu dari mulut laki-laki di hadapannya yang ia tahu sejak sekolah dulu memang sudah berhubungan dengan Duna, dan ia tak tahu sejauh dan sedalam apa hubungan mereka. Tapi begitu melihat sorot mata Malik yang menegaskan tak ada perasaan romantis ke Duna, Tria mulai melunak.
Melihat Tria sama bingungnya menghadapi diri sendiri seperti Duna, Malik diam-diam menghela nafas pelan. Dalam hatinya berpikir, kedua orang ini tampaknya benar-benar jodoh. Cara Duna dan Tria menghadapi situasi, kebingungannya, dan keraguannya, kelihatan sama persis.
“Sejujurnya,” Malik kembali membuka mulutnya, “Duna sempat curhat sedikit ke aku,” ucap Malik hati-hati.
“Tentang?” tanggap Tria, sorot sinis di matanya belum sepenuhnya pergi.
“Mmm,” Malik berusaha memilah kata yang tepat agar Tria tak salah paham. “Tentang keresahannya?”
Tria membuka mulutnya untuk bertanya lebih banyak, tapi dengan ia bertanya ke Malik, itu berarti ia mengakui kalau sebagai suami Duna, ia tak tahu apa-apa tentang istrinya. Ia enggan mengakui hal itu, harga dirinya tak mengizinkan itu terjadi. Jadi dia memilih diam, meski setengah mati penasaran.
“Saya gak bisa kasih tau isi curhatan Duna ke saya, tapi saya bisa kasih tau kakak apa saran saya ke Duna.” Malik melanjutkan.
“Apa?” tanya Tria, tetap kelihatan tenang dan dingin, padahal tak sabar sama sekali untuk mendengar.
“Saya bilang, buat saat ini jangan pikirin yang lain dulu, cukup pikirin diri sendiri.” Ungkap Malik.
Dahi Tria sedikit berkerut, ia tak paham apa manfaatnya dia harus mendengar ucapan barusan. Ucapan ambigu, ucapan sederhana yang semua orang pun bisa mengucapkannya. Ucapan umum yang tak memberikan jawaban sama sekali atas pertanyaan yang menumpuk di otaknya.
“Dan kalau saya boleh kasih saran, kakak juga harusnya begitu,” tambah Malik lagi.
Tria mendelik. “Maksudnya?”
“Mmm..” lagi-lagi Malik menimbangucapan yang akan dia keluarkan. “Satu lagi,” ia menegakkan posisi duduknya. “Satu lagi hal yang bisa saya kasih tahu ke kak Tria.”