AS NIGHT FALL BY

Arisyifa Siregar
Chapter #30

30. Luka tak kasat mata

Duna merasa jantungnya akan melompat keluar.

Sejak hari itu, sejak Tria dengan sopan meminta dan menjelaskan, bahwa paling tidak mereka harus jadi teman untuk hubungan pernikahan transaksional ini. Duna membuat keputusan. Dirinya harus lebih tenang, lebih netral, dan lebih santai dalam menghadapi kesehariannya bersama Tria. Karena bagaimanapun juga, ia tak boleh membuat dirinya menjadi orang yang lebih merepotkan dan merugikan Tria.

Tapi mengapa, makin kesini, ia justru merasa Tria lah yang berubah haluan. Tanpa sadar, ia sekarang sudah seperti masuk ke dalam jebakan. Jebakan yang mungkin saja memang sejak awal disiapkan.

Tria tak pernah terang-terangan menyuarakan pikiran apalagi perasaannya. Tapi sikapnya, jauh lebih berbahaya dari apa yang keluar dari mulutnya. Pelan namun pasti, sentuhannya dan tindakannya ke Duna, makin hari makin bervariasi.

Awalnya ia hanya membawakan sarapan pagi-pagi buta, begitu Duna membuka mata, di sofa Tria sudah menyambutnya dengan roti panggang dan susu coklat hangat.

Lalu saat mereka menyantap sarapan, tangan Tria tiba-tiba saja terulur ke ujung bibir Duna. “Belepotan,” ucapnya santai. Entah sadar atau tidak kalau Duna hampir terlonjak kaget oleh tindakannya itu.

Lusanya, setelah sehari semalam tidak pulang, setibanya di rumah dia langsung masuk kamar, menyambangi Duna yang sedang duduk menonton televisi. Kemudian tiba-tiba saja mengulurkan tangannya sambil mengeluh sakit dan susah digerakkan. Meminta Duna mengecek apakah ada bengkak semacamnya di telapak tangannya.

Meski agak gemetaran, Duna menggenggam tangan itu dengan hati-hati, memperhatikan setiap sudutnya dan mencari tanda-tanda sakit, namun nihil. Lalu tiba-tiba saja setelahnya, Tria langsung tersenyum lebar sambil berkata, “Abis kamu pegang, jadi gak sakit lagi.” Lalu meninggalkan Duna ke kamar mandi. Seakan tak habis melakukan apa-apa. Padahal Duna hampir berhenti bernafas dibuatnya.

Belum lagi, beberapa hari lalu saat menonton TV, Tria tiba-tiba saja menggeser posisi duduknya, mepet dengan Duna. Katanya, lantai kamarnya terlalu dingin, jadi kakinya harus diangkat dan ditekuk di atas sofa, tapi tak sopan kalau kakinya yang mengarah ke Duna, makanya diarahkan ke arah berlawanan. Dan setelah membuat bahu dan lengan mereka saling menempel selama sejam. Tria malah tertidur, dengan kepala yang bersandar ke bahu Duna. Langsung terlelap tanpa aba-aba. Membuat Duna mematung dan kebingungan harus bagaimana.

Tak terhitung banyaknya tindakan Tria yang seperti itu, tindakan yang kelihatan biasa, yang membuat Duna tak bisa mengeluh karena takut kelihatan pede tak karuan, tapi juga merasa aneh sekaligus kewalahan dalam menghadapinya.

Yang lebih parahnya, akhir-akhir ini dia sering sekali tak mengenakan baju saat masuk ke kamar setelah mandi. Sehingga Duna yang awalnya selalu terang-terangan menghindari dan mengalihkan pandangan, menjadi mulai terbiasa melihat bagian tubuh atas Tria yang tak tertutup sehelai benangpun itu.

Dan sekarang, pria itu tiba-tiba saja berbaring di sampingnya.


Biasanya, jika Duna lebih dulu pulang kerja dan langsung merebahkan diri di atas kasur, Tria akan memilih berbaring di sofa begitu tiba di kamar. Tapi malam ini berbeda. Setelah mandi sepulang kerja, Tria justru naik ke kasur dan berbaring di sebelah Duna.

Tadi Duna memang sudah tertidur. Namun, gerakan kasur saat Tria menaikinya membuat Duna terjaga. Ia tak berani menoleh, takut membuka mata untuk memastikan apakah Tria sudah benar-benar tidur. Jadi, ia memilih tetap berpura-pura tidur, memejamkan mata rapat-rapat, padahal jantungnya berdetak kencang, tak karuan.

Sebentar lagi, tunggu sebentar lagi, pikir Duna dalam hati. Ia akan menunggu Tria terlelap dan ia akan bangun untuk pindah tidur di sofa. Cukup tunggu sebentar lagi.

Dua menit, lima menit, sepuluh menit ia sudah berpura-pura. Tria tak ada suara pun gerak tubuhnya. Duna yakin pria ini sudah pulas. Jadi dia langsung membuka mata, mengangkat tubuhnya dari kasur, dan menurunkan kakinya ke lantai, saat tiba-tiba tangannya digenggam, di tahan oleh Tria.

“Mau kemana?” tanya Tria, membuat Duna terperanjat.

“Ke, ke sofa.” Sahut Duna terbata, berusaha turun dari kasur namun Tria masih menggenggam tangannya.

Tria ikut bangkit, duduk di kasur menghadap ke Duna yang sedang melotot panik.

Jarak antara tubuh mereka hanya beberapa sentimeter. Tria mendekatkan wajahnya ke wajah Duna sambil berkata, “Di sini aja,” dengan lembut dan sedikit manja.

Tangan Tria bergerak dari pergelangan tangan Duna, ke telapak tangannya, ia menyentuh jari-jari Duna dan menggenggamnya.

Duna mematung, matanya membelalak, nafasnya tercekat, wajahnya tegang, otaknya malfungsi. Ia konslet mirip robot rusak.

Melihat Duna tak berkutik di hadapannya, Tria menyunggingkan senyum, tangannya yang satu lagi bergerak menyentuh rambut Duna. Membelainya dan menyelipkannya di belakang telinga. “Udah panjangan sekarang,” ucap Tria, kemudian menatap dalam ke mata Duna.

Tangannya kemudian bergerak ke pipi Duna yang dalam temaram cahaya saja kelihatan jelas memerah, telunjuknya mengusap permukaan kulitnya dengan lembut.

“Kamu masih gak percaya, kalau aku sayang banget sama kamu?” tanyanya.

Lihat selengkapnya