AS NIGHT FALL BY

Arisyifa Siregar
Chapter #32

32. Seutuhnya

“Nggak pulang lagi itu anak,” gumam Tria saat masuk ke dalam rumah yang keadaannya gelap gulita.

Duna tahu yang ia maksud adalah Tami. Makin hari sahabatnya itu makin tak menunjukkan keberadaannya di rumah ini. Kadang Duna tersiksa dengan pikiran bahwa Tami begitu membencinya sehingga tak ingin berada di rumah dan bertemu dengannya. Tapi lagi-lagi, ia tak bisa mengeluh akan hal itu, ia mengerti dengan sangat, dan ia menerima seluruh kebencian itu karena memang pantas ia terima.

Mereka masuk ke dalam kamar, Tria meletakkan seluruh kantong belanja Duna di atas sofa.

“Kamu mau mandi duluan?” tanya Tria.

Duna mengangguk. 

Ia langsung mengambil baju tidurnya dan handuk, berjalan keluar kamar tanpa mengucap sepatah kata pun. Masuk ke dalam kamar mandi dan berdiam diri di dalam cermin.

Penampilannya jauh berbeda dari sebelumnya, berkat saran Malik ia bisa melihat sosok dirinya yang berbeda. Untuk pertama kalinya selama hampir satu dekade ia bisa memiliki rambut panjang lagi, meskipun bukan rambutnya sendiri. Ia juga bisa merasakan bagaimana menjadi wanita yang bisa mewarnai rambut. Hal yang tak pernah bisa ia lakukan kalau dia masih dibawah kendali ayahnya.

Dan semua ini bisa terjadi berkat Tria.

Ia memejamkan matanya, mengingat kata-kata Tria di mobil tadi. Tentang bagaimana dia tergila-gila. Walaupun itu dusta, walaupun suatu saat Tria mengatakan ucapan itu hanya kebohongan belaka, Duna tak akan pernah marah, tak akan pernah membencinya. Karena ucapan itu, adalah ucapan yang bahkan tak berani ia harapkan untuk didengar oleh telinganya.

Jadi malam ini, dia sudah memutuskan. Untuk menjadi lebih egois. Untuk menunjukkan ke Tria kalau dirinya juga tergila-gila pada pria itu sejak dulu. Untuk memberikan lebih banyak dari yang ia terima selama ini.

Ia membersihkan tubuhnya dengan seksama, menyemprot parfum di tubuh dan di baju tidurnya. Kembali ke kamar dengan rambut tergerai yang setengah basah.

Tria sedang duduk di sofa saat Duna masuk. Hidungnya mencium harum semerbak dari tubuh Duna, membuatnya menelan ludah dan merasa jantungnya mulai berdetak lebih cepat.

“A-aku mandi dulu,” ucapnya mendadak tergagap. Buru-buru mengambil handuknya dan melarikan diri dari kamar.

Di dalam kamar mandi ia terdiam di balik pintu. Memegang dadanya yang deg-degan, sambil mengatur nafasnya yang menderu. Panik, getarannya lembut tapi tajam, menjalar cepat, seperti karbonasi yang menyentak dari ujung jari ke seluruh tubuh itu muncul lagi. Ia takut tak bisa mengendalikan diri. Jadi ia segera kabur ke kamar mandi.

Ia pun segera mengguyur badannya dengan air dingin. Berharap air yang mengalir dari ujung kepala sampai ujung kakinya ini menetralisir perasaan liar yang mengguncangnya tadi. Ia mandi berlama-lama, sengaja mengulur waktu, agar saat ia kembali ke kamar, Duna sudah tidur, dan ia bisa melewati semalam lagi, sebagai laki-laki bermartabat.

Tapi begitu membuka pintu kamar, tubuhnya mendadak lemas, terserang oleh kenyataan mengagetkan. Duna belum tidur, dia malah duduk di pinggir kasur sambil menatap ke arah Tria, yang padahal masuk ke dalam kamar hanya mengenakan handuk di bagian bawah tubuhnya, karena saking terburu-buru kabur tadi ia tak membawa baju ganti.

Dengan jantung yang kembali berdentum, Tria menutup pintu kamar. Untuk pertama kali, dia yang menghindari tatapan Duna. Tak berani menatap balik. Ia berjalan dengan kikuk ke arah lemari, membukanya dan mengambil baju juga celana hitamnya dari dalam sana. Ia melirik sekilas, Duna masih duduk di posisi yang sama. Tatapannya tak bergerak sedikitpun. Mirip mannequin di toko baju.

“K-kenapa?” tanya Tria pada akhirnya. Berjaga-jaga kalau Duna ingin mengatakan sesuatu padanya namun ragu.

Tapi istrinya itu tetap diam, tetap menatapnya tanpa ekspresi. Membuatnya makin gugup.

“Kamu nggak apa-apa, kan?” tanyanya lagi.

Duna masih tak menyahut.

Lihat selengkapnya