AS NIGHT FALL BY

Arisyifa Siregar
Chapter #33

33. Krisis Diri

“Sayang?” Tria menepuk lengan Duna lembut. “Sayang?” panggilnya. Matahari sudah tinggi namun Duna belum juga bangun.

Sebenarnya semalam, Tria sempat sadar, saat di tengah tidurnya ia mendapati Duna naik ke kasur dan berbaring disisinya. Ia pikir Duna hanya ke kamar mandi atau ke dapur. Tapi saat bangun tadi, ia mencium kepala Duna dan mendapati bau rokok di rambutnya. Tria paham, semalam Duna pasti menyendiri dan menyesap rokoknya sambil memikirkan sesuatu yang tak ia bagi.

Padahal sudah cukup lama Tria tak melihat Duna merokok, ataupun mencium bau rokok dari tubuhnya. Tapi setelah kejadian semalam, saat dirinya penuh dengan rasa bahagia dan tidur terlelap, nampaknya Duna tak merasakan yang sama.

Namun Tria tak ingin buru-buru bertanya, ia sadar Duna mampu mengatasi dirinya lebih dari yang Tria harap. Keberaniannya semalam, melampaui semua ekspektasi Tria terhadap diri Duna. Jadi ia tak akan terburu-buru. Ia percaya Duna perlahan-lahan akan membuka hatinya. Nanti, istrinya ini akan mulai membagi beban yang ada di dalam pikirannya. Tria cukup sabar menunggu, cukup terus menunjukkan kalau dia selalu ada, selalu sedia untuk mendengarkan semua keluh kesah itu.

“Sayang?” panggilnya lagi. Membelai-belai wajah Duna.

“Em?” Duna melenguh. Nampak masih sangat mengantuk. Entah jam berapa ia baru kembali ke kamar untuk tidur. Seingat dia, dia menghabiskan lebih dari empat batang rokok sebelum mulai merasakan kantuk.

“Kamu nggak kerja?” tanya Tria lembut.

“Em?” Duna masih mengumpulkan serpihan kesadarannya. “Nggak,” sahutnya kemudian. “Aku masih libur.”

“Oh oke kalau gitu,” Angguk Tria sambil tersenyum. “Aku berangkat kerja, kamu tidur aja lagi.” Ia menarik selimut dan menutupi tubuh Duna. Lalu mengecup dahi Duna, sebelum akhirnya turun dari kasur dan meninggalkan kamar.

Telinga Duna samar-samar mendengar deru mobil yang menjauh dari rumah. Tapi kantuknya teramat sangat, jadi ia kembali terlelap.

Sampai beberapa jam kemudian ia mendengar ponselnya berbunyi. Ia meraba-raba kasur, mencari keberadaan ponselnya yang ternyata ada di bawah bantal Tria.

“Halo?” ia menjawab panggilan tanpa mengecek dulu siapa yang menelpon.

“Neng Duna,” suara familiar menyahut di seberang saluran. “Neng, Bu Dahlia masuk rumah sakit.”

Ucapan Bi Marni seketika membawa Duna ke kesadaran penuh. Kepalanya langsung diangkat dari bantal. “Mama? Kenapa Bi?”

“Serangan jantung, Neng,” sahut Bi Marni dengan suara gemetar.

Duna langsung bangkit dari kasur, mengambil tasnya diatas meja dan berlari keluar kamar. “Di rumah sakit mana?” tanyanya, buru-buru meninggalkan rumah.


Tangannya gemetaran, Duna berlari memasuki rumah sakit dan menuju tempat dimana ibunya sedang di operasi. Di lorong tunggu ia melihat ayahnya sedang duduk tegak, dengan kedua tangan terlipat di depan perut.

“Mama kenapa, Pa?” tanya Duna.

Bahrain menengok dan melemparkan sorot mata penuh amarah. “Apa-apaan penampilan kamu ini!” protesnya, bukan menjawab pertanyaan Duna.

“Pa, yang aku tanya mama kenapa!” Tekan Duna.

Ayahnya malah berdiri dan bertolak pinggang. “Benar-benar bikin malu keluarga kamu ya!” Serangnya lagi. “Apa belum cukup bikin malu sama kelakukan kamu? Sekarang berdandan seperti itu. Mau ditaruh mana muka Papa kalau ada kolega yang lihat kamu begitu?”

Nafas Duna menderu, dadanya naik turun, rahangnya mengatup rapat. Ia tak habis pikir, setelah semua yang terjadi, dengan keadaan seperti ini. Saat ibunya ada di dalam ruang operasi tengah mempertaruhkan nyawanya, yang ada dipikiran ayahnya hanya harga diri, martabat, sesuatu yang selalu ia junjung tinggi lebih dari apapun di dunia ini, bahkan lebih dari hidup anak istrinya sendiri.

“Papa pikir karena siapa aku begini?” Duna melawan. “Kalau aja Papa nggak maksa aku buat selalu ikutin kemauan papa, kalau aja papa nggak selalu sombong dan keras kepala dengan jalan pikiran papa sendiri! Aku gak bakal kayak gini!”

Telapak tangan Bahrain melayang, namun Duna menahannya sebelum mendarat ke pipinya.

Lihat selengkapnya