AS NIGHT FALL BY

Arisyifa Siregar
Chapter #34

34. Penilaian yang kabur

“Arrgh!” erang Duna sambil meremas kepalanya dengan kedua tangan.

Ia sudah sejam duduk di sofa, di dalam gelap kamar Tria yang sudah menjadi tempat paling aman baginya.

Tubuhnya lelah setelah dua hari bolak-balik rumah sakit untuk menjaga ibunya yang masih belum siuman pasca operasi. Kepalanya pusing karena kurang tidur dan tidak makan dengan baik akhir-akhir ini. Barusan ia bahkan sudah menenggak dua butir obat tidurnya, berharap bisa segera beristirahat, namun bukannya terlelap, kepalanya semakin pusing.

Beberapa saat lalu, ia terlibat perdebatan dengan Tami di dapur. Kini ia dihantui rasa bersalah.

Setelah sekian lama akhirnya tadi mereka saling bicara yang lebih dari sepatah dua patah kata. Namun sayangnya obrolan mereka bukan hal yang menyenangkan. Dan Duna tahu itu berasal dari kebodohannya.

Tadi, saat ia menenggak obat tidurnya di dapur, Tami masuk ke rumah dan kaget dengan keberadaannya. Merasa akhirnya punya kesempatan untuk bicara dengan Tami, Duna memberanikan membuka mulutnya.

Sebenarnya ia ingin membahas tentang dirinya, sebenarnya ia sudah bersiap untuk menjelaskan ke Tami tentang rahasia nya.

Setelah pembicaraannya dengan Raina waktu itu, Duna terus menerus menyiapkan dirinya untuk menghadapi Tami. Tapi sayangnya ia tak tahu bagaimana harus memulai. Ia tak tahu hal apa dulu yang harus diucapkan. Karena begitu melihatnya, Tami langsung sinis dan kelihatan enggan bicara.

Alhasil, bukannya memperbaiki keadaan, Duna malah memperkeruh suasana.

“Katanya lu ketemu Kavi?” Malah kata-kata itu yang meluncur keluar dari mulutnya.

Bukannya membahas tentang dirinya dan Tria, bukannya menenangkan rasa kesal Tami, dia malah terjebak pembicaraan tentang Tami dan Kavi, mantan pacar Tami yang sejak dulu memang tak pernah Duna setujui untuk sahabatnya itu pacari.

Mungkin karena kepalanya yang pusing, mungkin karena pikirannya yang berantakan. Ia malah bicara tak karuan ke Tami. Malah menceramahinya, malah memperingatkannya agar tak berhubungan lagi dengan Kavi. Dan tentu saja, Tami makin kesal padanya, mungkin makin lebih-lebih membencinya. Ia membuat hubungannya dengan Tami jauh lebih buruk dari sebelumnya. Ia sudah kehilangan kesempatan untuk bicara dengan Tami.

“Argggh!” erangnya lagi.

Kepalanya semakin sakit.

“Sayang?” panggil Tria sambil menyentuh lengan Duna.

Duna mengangkat wajahnya dan terperanjat. Ia tak tahu sejak kapan Tria ada di sampingnya. Ia sama sekali tak mendengar Tria masuk ke dalam kamar. Padahal sejak tadi matanya terbuka, padahal sejak tadi telinganya sedang tak mendengar apa-apa.

Melihat Duna seperti orang linglung, Tria langsung menggenggam tangannya. “Kamu kenapa?” tatapnya khawatir.

Tak menjawab sepatah katapun, Duna malah terpaku dengan tatapan Tria. Tenggelam di dalam dua bola mata yang terlalu indah untuk dilihat. Tersesat di sana.

Bahkan sampai detik ini, momen seperti ini masih terasa mimpi baginya. Ia masih tak percaya bahwa Tria memanggilnya ‘sayang’, tak percaya kalau mereka adalah suami istri. Hingga ia pun tanpa sadar mengangkat tangannya, menyentuh pipi Tria, dan membelainya perlahan. Merasakan keberadaan nyata dari sosok Tria.

Jantung Tria berdenyut, tapi bukan irama cepat yang membuat panik. Tapi detaknya terasa pelan-pelan dan dalam. Terasa seperti ada sebuah selimut kaca tipis yang menyebar dari dada ke sekujur tubuhnya. Membuat dirinya takut untuk bergerak.

Tatapan Duna, cara tangannya menyentuh. Semua terasa rapuh dan penuh kesedihan yang dipendam sendirian.

Tria ingin merengkuh semua itu, ingin mengambil alih, dan merasakan sakit hanya untuk dirinya sendiri. Ia sangat ingin Duna terlepas dari semua rasa tersiksa yang ada di dirinya, tapi sayangnya semua hanya angan. Kenyataannya, sampai saat ini Tria masih belum bisa berbuat banyak untuk Duna. Hari-hari dimana ia melihat Duna lebih cerah dan ceria, seringkali tak bertahan lama. Istrinya itu, masih tertutup, masih menyembunyikan luka dalam diam.

Kemarin lusa, saat Tria pulang ke rumah dan mendapati Duna tak ada di kamar. Ia langsung keliling rumah untuk mencari keberadaan Duna. Dan begitu tak ada di sudut manapun, ia coba menelepon.

Begitu Duna menyahut, “Di rumah sakit.” Tria langsung berlari keluar rumah seperti orang gila. Mengendarai mobilnya kebut-kebutan. Merangsek masuk ke rumah sakit dan berlarian ke tempat dimana Duna berada.

Saat melihat Duna duduk dengan pandangan kosong nya di salah satu kursi tunggu di rumah sakit. Tria menghampiri dengan rasa gelisah yang mencekam. Takut terjadi sesuatu pada Duna. Karena setiap kali ke rumah sakit, semua hal yang terjadi pada Duna selalu menyakitkan untuk diingat.

Kakinya terasa berat, namun disaat yang sama ia ingin buru-buru sampai di hadapan Duna.

Dan ketika Duna mengatakan dia ada di rumah sakit karena ibunya yang sedang di operasi. Tria malah menghela nafas lega. Memeluk Duna erat-erat, mengucap syukur dalam hati karena Duna baik-baik saja.

Lihat selengkapnya