Duna berjalan pelan ke arah belakang rumah. Tangannya mendorong pintu kaca tanpa benar-benar sadar akan apa yang ia lakukan. Udara malam menyambutnya dengan dingin yang menggigit, namun kulitnya tak bereaksi. Ia terus melangkah, bertelanjang kaki di atas rumput yang basah oleh embun. Setiap langkah terasa seperti mimpi buruk yang bergerak lambat, mengabur di antara kesadaran dan kehampaan.
Sorot matanya kosong. Lebih kosong dari langit malam yang tanpa bintang, tanpa bulan, hanya gulita tanpa ujung. Pandangannya seperti menembus dunia ini, seolah menatap ke sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain. Wajahnya sepucat kain kafan, nafasnya tersendat seperti seseorang yang lupa cara bernafas. Jantungnya berdetak lamban, begitu lamban sampai ia bisa bersumpah detaknya sempat berhenti. Satu denyut, lalu hening.
Pikiran-pikiran di kepalanya berisik. Bising. Memekakkan. Seperti ribuan suara berteriak serempak namun tak bisa dimengerti. Ia menutup mata sejenak, tapi kegelapan tak menawarkan ketenangan, hanya gema luka-luka yang selama ini ia pendam sendiri. Kepalanya berat, tubuhnya pun terasa seperti bukan miliknya. Dunia seakan menjauh, seakan tak menyentuhnya lagi.
Ia berhenti di tepi kolam.
Air di hadapannya berkilau tenang dalam cahaya temaram. Biru tua yang dalam, dingin, dan sunyi. Ia menatap permukaannya. Tak melihat bayangannya sendiri. Hanya melihat sebuah tempat yang menjanjikan hening. Tempat di mana semua suara bisa berhenti. Tempat di mana tubuhnya bisa lenyap seperti yang selama ini ingin ia lakukan, diam-diam, perlahan, tanpa menyusahkan siapa pun.
Matanya berkedip lambat. Sekali. Dua kali.
Kemudian, tanpa suara, tanpa jeritan, tanpa gerakan dramatis, tubuhnya meluruh. Ia menjatuhkan dirinya ke dalam kolam, seolah air adalah satu-satunya pelukan yang pantas untuk dirinya di dunia ini.
Dua jam lalu, Duna dihantam kenyataan pedih.
Tami yang sejak pernikahan Duna dan Tria sudah secara terang-terangan menunjukkan kebenciannya pada Duna, semakin menjadi beberapa waktu terakhir.
Sejak kejadian beberapa hari lalu saat Duna tiba-tiba membahas Kavi, Tami makin jarang berada di rumah. Ia bahkan pergi berhari-hari tanpa kabar, yang belakangan Duna tahu ternyata dia pergi liburan ke luar kota.
Sekembalinya dari liburan, Tami tampak lebih tenang. Dalam banyak kesempatan dia kelihatan banyak menghabiskan waktu luangnya bersama Julian. Bahkan mendatangi acara baby shower Raina pun, ia didampingi Julian. Semua begitu tenang selama beberapa hari, Duna bahkan sempat lupa dengan kegelisahannya tentang Tami dan Kavi, tentang rasa bersalahnya karena membahas hal itu tanpa berpikir panjang.
Namun rupanya semua itu hanya tenang sebelum badai.
Malam itu, sepulang dari acara Raina, Tami mengamuk ke Tria dan dirinya. Ia akhirnya tahu rahasia yang selama ini Tria dan Julian simpan, rahasia tentang cerita dibalik kandasnya hubungan Tami dan Kavi lima tahun lalu. Rahasia yang selama ini Duna sendiri tak tahu rincinya, namun ia selalu sadar, kalau dia ada andil di dalamnya.
Saat itu, untuk pertama kalinya Tami membentak Tria dan Duna secara terang-terangan. Kebencian yang ia luapkan tumpah ruah. Sampai akhirnya dia bilang akan meninggalkan rumah, tak ingin tinggal bersama Duna dan Tria lagi karena terlalu muak melihat mereka berdua. Lalu pergi beberapa hari.
Tiga jam lalu, Tami kembali. Gadis itu langsung masuk ke dalam kamarnya dan kedengaran mengerjakan sesuatu dengan terburu-buru.
Duna langsung berdiri di depan kamar Tami, menunggu hampir sejam lamanya. Dan saat Tami keluar dari kamarnya dengan membawa koper-koper besar, hati Duna terasa remuk redam.
“Lu bener-bener pergi?” tanya Duna memandang ke arah koper Tami.
“Lu kira gue gertak doang?” balas Tami dengan tatapan penuh benci, lalu melanjutkan langkahnya.
Duna mengikuti tepat di belakangnya, “Bisa diomongin baik-baik kan Tam? Gak usah harus sampai kabur kayak gini, gimana juga kan kita keluarga!” Ia mulai panik, ia tak pernah berpikir akan benar-benar kehilangan sahabatnya dengan cara seperti ini.
Tami berhenti lagi dan matanya berkilat. “Omongin baik-baik lu bilang? Emang lu sama Tria pernah ngomong baik-baik dan terbuka sama gue?”
Duna terhenyak, kata-kata Tami mendarat tepat di ulu hati. Ia memejamkan matanya sambil menahan nafas sekejap. Berusaha untuk tak membahas ke arah sana. Saat ini hubungan Tria dan Tami yang menjadi prioritasnya.