AS NIGHT FALL BY

Arisyifa Siregar
Chapter #36

36. Wanita Itu

Tria merasa ia kehilangan pegangan hidup.

Duna berhasil selamat dari maut. Dosis obat penenang yang ia tenggak berlebihan, dinginnya air kolam renang kemarin malam, hampir merenggut nyawanya.

Dia selamat, dia sadarkan diri, namun seakan hanya raganya yang berbaring di ranjang. Ia tak mengatakan apapun, tak menjawab apapun. Ia bahkan seakan tak ingin menatap Tria, wajahnya terus berpaling, matanya terus menatap ke jendela di pojok ruangan. Tatapannya kosong.

Berkali-kali Tria coba mengajak bicara, berbagai upaya ia lakukan agar Duna mau bicara, mau menceritakan apa yang terjadi kemarin malam. Tapi semuanya gagal.

Duna seakan tak disana. Dia seperti sedang berada di dunia yang berbeda dan enggan untuk kembali ke Tria.

Dokter bilang fisiknya tak terlalu bermasalah, tapi nampaknya jiwanya perlu pemeriksaan lebih lanjut. Karena itu Duna dirujuk ke psikiater.


Setelah beberapa jam bertahan dengan ketidaktahuan, Tria akhirnya kembali ke rumah. Untuk mengambil baju ganti Duna dan keperluan lainnya, sekalian mengambil ponselnya dan ponsel Duna.

Tepat saat dia sedang merapikan baju Duna dan memasukkannya ke dalam tas. Ponsel Duna berbunyi.

Nama Raina muncul di layar.

Tria menimbang selama beberapa saat, untuk akhirnya mengangkat telepon itu.

“Halo, Raina?” Ia duduk di pinggir kasur.

“Em, ini Tria, Duna di Rumah Sakit.” Jelasnya.

“Maaf, Raina, kalau aku nggak ngerepotin, boleh aku minta tolong?”

Tria tak tahu, apakah pilihannya ini tepat. Tapi dia yakin ada sesuatu antara Tami dan Duna malam itu, sesuatu yang Duna tak ingin dirinya ketahui.

Dan karena kebetulan Raina yang menghubungi duluan, dia merasa bisa jadi ini salah satu jalan yang harus ia pilih. Agar Duna mau bicara, agar mungkin, setelah itu, keadaannya bisa jauh lebih baik dari sekarang.

***

“Duna?” sapa Raina begitu membuka pintu kamar rawat inap Duna.

Dari balik pintu Tria mengintip.

Duna menengok, mendengar suara Raina, Duna yang sedang duduk bersandar di kasurnya sambil melihat ke arah jendela itu menengok.

Nampaknya memang benar Duna hanya menghindari bicara dengannya. Kini, meskipun merasa membebani Raina yang sedang hamil, jadi repot-repot di rumah sakit. Ia merasa pilihannya tepat.

Meski ingin segera tahu apa yang terjadi, penasaran setengah mati. Tapi melihat Duna yang menatap Raina dengan tatapan penuh kesedihan, Tria sadar, sekarang bukan waktunya. Lebih baik sekarang ia memberikan Duna waktu untuk berbicara dengan Raina. Barangkali itu bisa meringankan beban hatinya, barangkali, ia akan menyampaikan sendiri tentang hal itu pada Tria nanti.

Jadi Tria memilih pergi. Membiarkan Duna dan Raina di dalam ruangan, hanya berdua.


“Lu kenapa, Dun?” Raina langsung memegang tangan Duna. Matanya berkaca-kaca.

Semalam waktu Tria menerima teleponnya dan meminta bantuan, ia tak berpikir panjang dan langsung mengiyakan. Entah mengapa ia memang ingin menghubungi Duna dan Tami selepas acara baby shower-nya, namun ia tak menyangka mendapat berita menyayat hati tentang kondisi Duna.

Bibir Duna gemetar, kelopak matanya bergerak berat.

Lihat selengkapnya