AS NIGHT FALL BY

Arisyifa Siregar
Chapter #37

37. Lepasnya Tali Kekang

4 Bulan kemudian


Duna merapikan isi tasnya di atas ranjang rumah sakit, ranjang yang selama empat bulan terakhir telah menjadi tempat ia melepas lelah, menangis diam-diam, dan perlahan-lahan, belajar pulih. Ia memasukkan pakaian, perlengkapan mandi, dan yang terakhir, tablet phone, sebuah buku sketsa usang beserta pensil warna yang menemaninya melewati malam-malam sunyi penuh gejolak.

“Lagi beres-beres, ya, Mbak?” sapa seseorang dengan suara yang begitu akrab di telinga, suaranya yang sama yang menyambutnya tiap pagi dan menenangkannya tiap malam.

Duna menoleh dan mendapati sosok Andini, perawat kepala yang sejak hari pertama menjadi penjaganya, pelindungnya, sekaligus teman curhatnya di rumah sakit ini.

“Iya,” jawab Duna sambil tersenyum. “Tapi jangan kangen ya, Mbak!” godanya ringan.

Andini tertawa lembut, membawa beberapa lembar dokumen di tangannya. “Nggak dong,” sahutnya sambil membantunya menutup resleting tas. “Kalaupun kangen, aku nggak mau ketemu Mbak Duna di rumah sakit lagi. Aku maunya ketemunya... di acara fansign!”

Duna tertawa geli, pipinya memerah. “Apaan sih, kok fansign segala?”

“Loh iya dong!” Andini ikut tertawa, lalu menunjuk dirinya sendiri dengan bangga. “Aku kan fans nomor satu webtoon-nya Mbak Duna. Nanti kalau udah terkenal banget, bisa ketemu fans kayak artis Korea tuh, jangan lupa undang aku ya!”

Meskipun terdengar seperti candaan, Duna tahu Andini benar-benar serius. Ia memang selalu menjadi pembaca pertama sekaligus komentator paling setia sejak Duna mulai mengunggah komiknya ke Webtoon, diam-diam memberi semangat, bahkan saat Duna nyaris menyerah.

Padahal awalnya Duna hanya iseng, saat berkonsultasi tentang apa yang membuatnya tenang, apa yang dia senangi, dan apa yang akan dia lakukan kalau sudah keluar dari rumah sakit, Duna akhirnya meneruskan hobi yang dulu di kubur dalam-dalam olehnya. Tentunya sebagai perintis, tak mudah untuk mendapatkan pembaca, namun hanya dibaca beberapa gelintir orang saja, Duna sudah puas. Terlebih ada Andini, yang paling semangat menunggu update selanjutnya, Duna benar-benar merasa senang melanjutkan hobinya.

“Iya, iya,” balas Duna, tak kuasa menahan senyum. “Tapi sekarang aku pulang dulu, boleh ya?” candanya sambil menjinjing tas yang sudah penuh.

“Oh iya, orang tua Mbak Duna udah nunggu di depan, lho,” ucap Andini sambil membantu menarik gorden pembatas tempat tidur.

“Orang tua aku?” dahi Duna mengernyit. Ia tahu kondisi ibunya tak memungkinkan untuk datang jauh-jauh sendiri ke Lembang. Lalu siapa?


Setelah berpamitan dengan Andini dan beberapa staf yang datang memberikan salam perpisahan, Duna melangkah keluar dari area rawat inap. Hatinya hangat, dan sedikit gugup. Karena ini untuk pertama kalinya ia meninggalkan tempat ini tanpa perlu kembali lagi. Biasanya dia hanya keluar sebentar dan harus tetap kembali ke kamar. Tapi kali ini, dia akan melewati pintu ini untuk terakhir kalinya.

Tapi langkahnya terhenti di ambang pintu.

Matanya membelalak, berkedip cepat, seolah berusaha memastikan penglihatannya tak keliru. Disana, berdiri sosok yang tak asing, tegap, rapi, dan terlindung di balik kacamata hitam yang selalu ia pakai setiap berada di luar ruangan. Duna menggelengkan kepalanya, tak percaya oleh yang dilihat matanya, dari semua orang, kenapa dia malah melihat sosok ini?

Namun langkah kaki Bahrain, ayahnya, justru mendekat. Tubuh tegapnya yang menjulang, kacamata hitam yang hampir selalu menghiasi wajahnya setiap kali berada di luar ruangan, tak salah lagi, Duna yakin itu ayahnya. Tak peduli berapa lama waktu telah berlalu, ia tak mungkin keliru mengenali pria itu.

“Papa?” ucap Duna lirih, nyaris seperti bisikan pada dirinya sendiri, masih diliputi ketidakpercayaan, bahkan ketika sang ayah sudah berdiri tepat di hadapannya.

Tanpa banyak kata, Bahrain meraih tas yang menjuntai lemah di tangan putrinya. “Ayo pulang. Mama kamu sudah kangen,” katanya, suaranya tenang namun berat, seolah menyimpan seribu beban yang dia paksa pendam.

Terpaku beberapa detik, Duna akhirnya mengikuti langkah ayahnya dengan ragu. Mereka menuruni anak tangga menuju lantai bawah, menyusuri lobi rumah sakit yang kini terasa terlalu terang, terlalu sunyi, lalu keluar ke halaman parkir yang panas dan lengang.

Tepat di depan mobil yang mengkilap di bawah matahari, Bahrain berhenti, ia terdiam cukup lama, sampai Duna bergerak resah dibelakangnya, menimbang-nimbang haruskah ia yang bertanya apa yang terjadi, atau lebih baik menunggu dalam diam, tapi tepat sebelum Duna memutuskan untuk memanggil, Bahrain menoleh ke belakang. Tatapannya masih terlindungi kacamata hitamnya itu. Lalu ia berkata pelan, “Maaf.”

Duna mengernyit, mulutnya terbuka sedikit. Ia tak langsung menjawab. Karena kata itu terasa asing, seperti tak benar-benar ia dengar, sepertinya dia memang salah dengar. Mana mungkin sosok yang paling tidak pernah mau mengaku salah, sosok yang selalu memaksakan kehendak meskipun seisi dunia mengatakan dirinya salah itu minta maaf?

Namun kemudian sang ayah melepas kacamatanya, untuk pertama kalinya memperlihatkan tatapan mata yang jujur dan penuh sesal, langsung menembus ke dalam mata Duna.

“Maaf… karena papa. Kamu dan mama harus jadi kayak gini...”

Suaranya terdengar gemetar, tatapannya gentar. Ia sedikit menunduk, seperti orang yang butuh keberanian besar untuk melanjutkan kata-katanya. Sudut hati Duna yang sedikit berdebu berpikir mungkin saja ayahnya hanya pura-pura. Tapi untuk apa? Ayahnya, seumur hidup, untuk hal yang paling tidak akan pernah dia lakukan, untuk hal yan tidak menguntungkan, berpura-pura?

“Papa sadar, papa banyak salah sama kamu dan mama.. sejak kamu masuk rumah sakit, sejak papa tahu gimana susahnya kamu hadapin semua itu, papa malu.. papa malu jadi papa kamu..”

Saat itu juga, napas panjang keluar perlahan dari hidung Duna. Bahunya melorot, seperti beban yang selama ini bertumpuk akhirnya menemukan jalan keluar. Matanya bergetar, tapi tak ada air mata, hanya kelegaan yang menyelinap diam-diam, seperti angin sejuk setelah badai panjang. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, dia merasa punya tempat untuk pulang. Ia merasa punya keluarga sebenarnya.

Perkataan yang baru dia dengar barusan, adalah perkataan yang dirinya bahkan tak pernah harapkan. Tapi mendengarnya, seolah ada satu mimpi yang terpenuhi, seperti ada kebahagiaan yang tercapai. Begitu menenangkan, begitu lega.

Ia akhirnya mengangguk pelan, menyusun ulang kekuatan dari dalam hatinya yang telah lama rapuh akan harapan. “Maaf… Duna selalu ngecewain Papa,” ucapnya nyaris seperti bisikan.

Bahrain menggeleng pelan.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Duna melihat sesuatu yang tak pernah ia temukan di wajah ayahnya. Ketidakberdayaan.

Tak ada kesombongan, tak ada nada keras, tak ada tatapan dingin yang biasa menghakimi. Yang berdiri di hadapannya kini adalah seorang pria biasa, bukan sosok ayah yang selama ini berdiri di tempat tinggi, jauh, dan tak terjangkau, melainkan seorang manusia yang hancur perlahan oleh kesadaran akan sikap yang ia lakukan selama ini.

Raut wajahnya melembut, seperti retakan kecil pada dinding kokoh yang akhirnya jebol oleh air mata yang tertahan terlalu lama. Matanya basah, nafasnya tak teratur. Untuk pertama kalinya, Bahrain membiarkan perasaan mengambil alih kendali dirinya.

Dan entah datang dari mana keberanian itu, kata-kata Duna meluncur begitu saja, lebih dulu dari pikirannya. “Boleh… aku peluk Papa?”

Sejenak waktu terasa berhenti. Angin yang bertiup pun seolah ikut menahan napas.

Bahrain menatap putri satu-satunya, anak yang dulu hanya ia lihat sebagai bayangan dirinya, bukan sebagai jiwa yang utuh. Dan kini, gadis kecil itu berdiri di hadapannya sebagai wanita dewasa, ringkih, tulus, dan penuh luka memintanya dengan nada yang sangat manusiawi, untuk dipeluk.

Ia mengangguk. Lalu merentangkan kedua tangannya. Dan Duna, dengan langkah gugup tapi pasti, mendekap ayahnya.

Untuk pertama kalinya dalam hidup mereka, pelukan itu terjadi, bukan sebagai formalitas, bukan sebagai basa-basi, melainkan sebagai pengakuan. Akan luka. Akan rindu. Akan cinta yang tak pernah mereka pahami dengan benar.

Mungkin memang sudah terlambat. Mungkin tak akan ada cukup waktu untuk menebus semua kesalahan.

Tapi di pelukan itu, Bahrain berjanji dalam diamnya, untuk menjadi lebih dari sekadar sosok ayah seperti yang selama ini dia lakukan. Ia ingin menjadi tempat berpulang. Ingin menjadi rumah. Ingin jadi pelindung anak dan istrinya.

***

“Oi, Bro! Danie!” seru Julian dari bangku panjang di depan minimarket. Cowok yang beberapa bulan terakhir sibuk keliling nusantara dengan dalih healing padahal kabur dari patah hati dan hanya sesekali pulang itu melambai-lambaikan tangan, wajahnya berseri-seri seperti matahari yang baru terbit. Entah pura-pura atau memang sekarang sudah baik-baik saja.

Tria melangkah mendekat sambil menggeleng pelan. Sudah cukup lama tak bertemu sahabatnya ini, tapi bukannya rindu yang menyelinap di dadanya, malah rasa enggan yang lebih dulu datang. Namun bagaimana pun juga saat ini waktunya senggang, ia sedang menunggu satu pesan masuk di ponselnya. Pesan yang membuatnya bahkan gagal tidur dengan lelap semalam. Saking menunggu-nunggu.

“Nggak usah nyengir gitu, enek gue liatnya!” semprot Tria begitu sampai di hadapan Julian, lalu langsung menjatuhkan tubuhnya di kursi kosong di sampingnya.

Julian tertawa lepas, tawanya ringan, khas Julian dirinya setiap kali menerima cemoohan hangat dari Tria, di tempat sejak remaja mereka sering bercengkrama bersama, ia tahu betul, ia sudah pulang.

“Udah nggak galau lu sekarang?” sindir Tria sambil mengamati wajah cerah Julian yang tampaknya terlalu tulus untuk dipalsukan.

“Ya…” Julian mengangkat bahu, tubuhnya melorot santai, kaki kanannya bersilang di atas yang kiri. Ia menyeruput kopi kalengnya dan menatap langit siang yang bersih dari mendung. “Kalau dibilang nggak galau sih bohong, tapi masa galau terus, Bro. Bisa jadi fosil nanti.”

“Hm,” gumam Tria, mengangguk pelan. Ucapannya mungkin dingin, tapi di hatinya, ia setuju. “Lagian buat apa sih galauin Tami. Cewek kan bukan cuma adik gue itu.” Tria terang-terangan menabur garam di atas luka Julian, bukan karena tak empati dengan sosok sahabatnya yang di tolak cintanya oleh adiknya sendiri ini, tapi karena sebenarnya ia tulus menginginkan Julian untuk berhenti menyukai Tami. Sudah bertahun-tahun sahabatnya ini memendam cinta, tapi akhirnya benar-benar di tolak juga.

Julian mencebik, “Lu ngomong gitu padahal lu juga sama Duna…”

Ia terdiam. Kata-katanya terpotong sendiri saat sadar lidahnya hampir terpeleset.

Mulutnya mengatup, mata Julian melirik gugup, mengecek Tria. Wajahnya berubah, penuh rasa bersalah yang tak sempat ditutup rapat.

Dan benar saja, Tria kini sedang meliriknya. Sedikit sinis, tapi anehnya tatapannya tenang, terlalu tenang. Alisnya hanya sedikit bertaut, mulutnya sedikit menekuk, tapi selebihnya datar. Tak ada ledakan emosi seperti yang Julian khawatirkan.

“Sorry, Dan,” ucap Julian cepat, nadanya pelan dan sungguh-sungguh.

Namun Tria tak bereaksi seperti yang ia bayangkan. Tak ada amarah, tak ada luka yang tampak dari ekspresi wajahnya. Yang ada hanya ketenangan aneh yang tak bisa Julian baca. Padahal, ia ingat betul, empat bulan lalu, Tria curhat kalau dia merasa Duna meminta pisah dari sahabatnya ini. Ia menyaksikan bagaimana Tria terjatuh oleh kewaspadaan dan gelisahnya selama berhari-hari, bagaimana ia menahan perih dengan diam yang menyiksa saat sosok Duna akhirnya meninggalkan rumah itu.

Tapi sekarang? Kenapa Tria justru terlihat lebih kuat. Lebih lepas? Padahal dirinya sendiri yang hanya ditolak orang yang disuka sampai lari keliling negeri untuk menenangkan diri. Tapi sahabatnya ini, ditinggal istri yang dicintai, malah biasa-biasa saja.

Apa mungkin Tria benar-benar sudah melupakan Duna? Julian ragu. Karena ia tahu seberapa dalam Tria mencintai Duna. Seberapa keras dia memperjuangkan. Seberapa lama dia mencoba bertahan dari kesulitan yang tak pernah ia bagi dengan Julian, tapi dari sorot mata, dari caranya menghela nafas saat termenung, Julian selalu tahu kalau hari-hari sahabatnya ini berat. Dan paling berat saat dia bilang “Duna udah nggak dirumah.” Empat bulan lalu.

Lihat selengkapnya