AS NIGHT FALL BY

Arisyifa Siregar
Chapter #38

38. Menggenggam Mentari

Begitu melewati pagar rumah Duna, pandangan Tami dan Tria langsung tertuju pada pintu depan yang terbuka lebar, seolah mengundang mereka masuk, seperti menyambut kedatangan mereka.

Tanpa perlu kata-kata, keduanya serempak mempercepat langkah. Menyeberangi halaman yang teduh di bawah naungan pohon mangga tua, menaiki anak tangga dengan degup jantung yang tiba-tiba saja berdetak lebih cepat karena perasaan campur aduk, lalu berhenti di ambang pintu, menahan napas, menanti sesuatu.

Di dalam, Duna berdiri mematung di tengah ruang tamu. Tangannya baru saja menyentuh gagang koper yang hendak ia geser. Tapi begitu melihat dua sosok yang kini berdiri di ambang pintu itu, tubuhnya seolah membeku. Gerakannya terjeda.

Matanya membulat, dadanya naik turun perlahan, jemarinya menggantung kaku di atas koper, dan nafasnya terasa berhenti menggantung di udara.

“Kak Tria?” ucapnya pelan, nyaris tak terdengar.


Tria tak menunggu. Ia langsung melesat maju dan merengkuh Duna ke dalam pelukan hangat yang penuh luapan rindu. Tak peduli siapa yang menyaksikan, ia memeluk Duna erat-erat, seperti tak ingin melepaskan barang sedetik. Satu, dua, tiga ciuman mendarat di pipi Duna, tanpa jeda, seperti menghapus waktu empat bulan yang memisahkan mereka.

Di belakangnya, Tami sudah mengkeret malu. Ia menutup wajah dengan satu tangan, lalu menggeleng pelan penuh rasa pasrah. Begitu tangannya turun, ia melirik kedua orang tua Duna yang duduk terpaku, menyaksikan adegan penuh cinta itu dengan ekspresi yang sulit dijelaskan: antara terkejut, bingung, dan geli bercampur jadi satu. Tami hanya bisa memberikan anggukan canggung, semacam permintaan maaf diam-diam atas kelakuan kakaknya yang sedang kelewat dibutakan karena cinta.

Sementara itu, Duna tertawa kecil di pelukan Tria. Ia balas memeluk, namun dengan gestur yang jauh lebih tenang. Rindunya sama besar, tapi ia memilih menikmati momen ini dengan ritme yang lebih hangat bukan membara seperti Tria. Saat matanya bertemu dengan Tami, ia mengedipkan mata singkat, sapaan ramah yang tak perlu kata, tapi bisa dibaca jelas, kalau dia minta tolong ke adik ipar yang sekaligus sahabatnya itu, untuk menyadarkan Tria, sebelum benar-benar ke dalam luapan kerinduan yang sedang ditumpahkannya.


Tami mendesah. Ia pun maju selangkah, menepuk bahu kakaknya pelan sebelum membisikkan kalimat tajam di telinga Tria, “Jangan malu-maluin, Tria…”

Teguran itu cukup untuk menarik Tria turun kembali ke bumi. Euforia dadakan yang membuncah tadi perlahan mereda. Ia akhirnya sadar betul, sejak tadi, mertuanya menatapnya dengan tatapan penuh makna. Campuran perasaan, karena asing melihat adegan penuh cinta di depan mata.

Tapi Tria tak menunjukkan penyesalan sedikit pun. Ia hanya menoleh singkat ke arah ayah dan ibu Duna, lalu tersenyum sambil tetap menggenggam tangan istrinya erat.

“Maaf ya, Pa, Ma… keburu kangen,” ucapnya tanpa rasa bersalah atau malu sedikit pun.

Tami kembali menggeleng. Kali ini dengan desahan lebih panjang, malu sendiri melihat kakaknya yang kelewat jujur soal perasaannya.

“Nggak apa-apa,” sahut Dahlia.

Tapi seperti orang bodoh yang hanya tahu soal Duna dan lupa pada segalanya, Tria tak menimpali ucapan mertuanya. Tak juga mencoba mencairkan suasana yang sempat kaku karena tingkahnya yang spontan. Perhatiannya justru terpaku pada tangan Duna yang masih menggenggam gagang koper.

“Kamu langsung pulang, kan?” tanyanya lirih, dengan nada yang nyaris terdengar manja. Sudut matanya merunduk, bibirnya hampir menekuk seolah siap merengek.

Duna sempat lupa, bahwa sekarang ia punya dua tempat yang bisa disebut "rumah".

Ia tak segera menjawab. Matanya berpindah ke arah ibunya, lalu ke ayahnya, seakan bertanya dalam diam, bolehkah ia langsung ikut Tria pulang sekarang juga? Padahal sebelumnya ia berniat tinggal dulu barang satu dua malam di rumah orang tuanya sebelum kembali ke rumah Tria. Tapi melihat wajah suaminya yang hanya sedetik lagi bisa berubah menjadi ekspresi merajuk, niat itu mendadak terasa tak pantas.

“Nggak apa-apa, pulang dulu ke suamimu,” ucap Dahlia lembut, paham betul kebimbangan anaknya. “Kamu kan tetap bisa kesini kapan aja kamu mau.”

Ayahnya mengangguk setuju. “Iya, pulang ke sana dulu aja, nggak masalah.”

Mendengar itu, Tria langsung berseri. Ia menyeringai lebar, dan tanpa pikir panjang, tangannya sigap mengambil koper dari genggaman Duna. “Makasih, Ma, Pa. Kita pamit dulu, ya. Nanti kita main lagi ke sini,” ujarnya ceria, lalu bergegas menuju pintu, menyeret koper Duna.

Begitu menyadari Duna tak ikut di sampingnya, Tria menoleh ke belakang. “Ayo, sayang!”

Tami spontan meringis. “Iiiih!” serunya jijik, sambil menyingkap bibir bawahnya hingga barisan gigi terlihat. Lalu pamit ke orang tua Duna.

Duna hanya tertawa kecil. Ia melambaikan tangan kepada kedua orang tuanya, lalu mendekati Tami dan melingkarkan lengannya di lengan sang adik ipar. Keduanya berjalan berdampingan, menyusul Tria yang masih berjuang menurunkan koper dengan semangat berlebihan.

“Lu apain sih, Dun, kakak gue?” goda Tami. “Gue sampai jijik sendiri ngeliatnya, lu nggak jijik apa?”

Duna malah tertawa. Melihat punggung Tria yang ia rindukan selama beberapa bulan ini. “Gue juga nggak tahu kenapa bisa begitu, tapi gimana mo jijik, ganteng gitu!”

“Uwek!” Tami langsung pura-pura muntah. “Ini alasannya dari dulu gue halang hubungan kalian, gue gak tahan sama eneknya.” Ungkapnya melebih-lebihkan.

Tawa Duna makin jadi.

Lihat selengkapnya