Duna duduk di ruang tamu dengan kepala menunduk, jemarinya sibuk mengupas jeruk perlahan, tenang, tak bersuara. Ia menyembunyikan rasa gugupnya dengan sikap tenangnya yang teramat luar biasa.
Di sampingnya, Tria duduk menyamping, menghadap ke arah Duna. Kakinya bersilang santai, kepalanya bertumpu pada lengan yang bersandar di punggung sofa, matanya tak lepas dari wajah Duna. Tatapan itu nyaris tak berkedip, intens, lembut, dan penuh rindu. Seolah jika ia membiarkan kelopak matanya tertutup sedetik saja, Duna akan menghilang lagi dari hadapannya. Dan ia tak mau hal itu terjadi.
Merasakan tatapan Tria yang begitu dalam menusuk ke arahnya, Duna akhirnya menoleh. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil. “Kenapa?” tanyanya, berlagak tak tahu bahwa suaminya tengah meluapkan rindu.
“Jangan pura-pura nggak tahu,” balas Tria cepat, nada suaranya lembut namun penuh tuduhan manja, bisa membaca setiap celah di balik senyum Duna.
Ia menggeser duduknya mendekat. Tubuhnya kini hanya berjarak sejengkal dari Duna, seperti tak rela ada sepotong ruang pun yang memisahkan mereka.
“Kamu tahu nggak?” Tria menatap wajah Duna dari jarak yang nyaris terlalu dekat, suaranya menurun, seperti sedang mengucap rahasia, “Kamu tuh cantik banget.”
Pipi Duna langsung memanas. Ia mengalihkan pandangan kembali ke jeruk, tak berani memandang balik Tria dengan tatapan mautnya itu.
Setelah berbulan-bulan tak bertemu, kini ia justru kewalahan menghadapi rayuan Tria, padahal beberapa bulan lalu ia hampir terbiasa mendengarnya, kini kembali asing dan membakar gugup dalam dirinya.
Melihat wajah istrinya merona, Tria tak menahan diri. Ia maju sedikit lagi, dadanya kini menyentuh bahu Duna. Lengan kirinya melingkar di pinggang Duna, menariknya dalam pelukan hangat. Tangan kanannya mendarat di pipi Duna.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Tria mengecup pipi Duna pelan, sekali, dua kali, lalu tiga kali. Kecupan lembut yang seperti hujan pertama setelah musim panjang yang kering.
Duna meringis geli, bahunya naik turun menahan tawa kecil. “Kak Triaaa…” gumamnya, setengah tertawa, setengah malu.
Tapi Tria justru tersenyum puas. “Udah lama nunggu momen ini,” bisiknya, memeluk lebih erat dengan kedua tangan. Seperti tak ingin melepaskan Duna barang sekejap.
Senyum yang menghiasi wajah Duna, sorot matanya yang cerah, tubuhnya yang kini tampak lebih berisi dan sehat, semua itu membuat kebahagiaan di dada Tria tumpah ruah tanpa terbendung. Rasa syukur menyelimuti hatinya. Empat bulan menahan rindu tak lagi terasa menyakitkan. Semua pengorbanannya seolah terbayar lunas hanya dengan melihat Duna hari ini, seutuh ini, sebahagia ini.
Ada masa di mana Tria hampir tak sanggup lagi menahan rindunya. Ada hari-hari di mana ia nyaris menginjak pedal gas dan langsung berkendara ke Lembang tiap weekend, hanya demi mencuri satu jam saja untuk melihat Duna dari kejauhan. Tapi dia tahu, jika ia menuruti keinginannya, ia akan mengkhianati kepercayaan yang Duna berikan.
Jadi ia tahan semuanya. Ia kerja bagai orang gila, menyibukkan diri dengan proyek demi proyek. Pulang larut malam dengan tubuh lelah dan hati kosong. Karena jika ia pulang lebih awal, dan masuk ke rumah yang sunyi, tak ada Duna, tak ada suara atau aroma tubuh yang ia kenal baik, rindunya akan menggerogoti dirinya sampai habis. Ia bisa gila oleh kerinduan itu.
Namun hari ini, setelah melihat sendiri bahwa Duna baik-baik saja, lebih dari sekadar baik, bahkan tampak bercahaya, Tria merasa segala luka dan sabar yang ia pelihara selama empat bulan ini tak sia-sia. Semua perjuangan itu terasa sangat layak. Ia bangga pada dirinya sendiri yang berhasil melewati semua itu dan bisa menyaksikan momen ini.
“Kamu nggak kangen ya sama aku?” tanyanya lirih, dengan nada menggoda yang menyimpan rindu dalam-dalam.
Duna menoleh, menatap langsung ke dalam mata Tria, mata yang tak pernah benar-benar hilang dari benaknya. Bahkan ketika ia terbaring lemah di minggu-minggu pertama perawatannya, bayangan Tria selalu hadir, menolak untuk lenyap dari ingatannya. Mana mungkin ia tak rindu? Kerinduannya bisa menggumpalkan awan dan membuat awan hujan dengan petir menggelegar.
Tapi kini, melihat tatapan penuh kerinduan dari Tria, rasa rindunya seperti hanya tetesan embun pagi. Tak ada apa-apanya dibanding yang Tria punya.
Duna tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya menyandarkan tubuhnya sedikit ke bahu sofa, lalu mengecup bibir Tria cepat, lembut namun mantap. Secepat kilat, namun menyisakan gemuruh di dada.
Tria membelalak, terkejut. Bibirnya terkatup, matanya menerawang, seperti tak percaya dengan apa yang barusan terjadi. Tapi kemudian, senyum itu muncul perlahan. Senyum hangat yang dalam sekejap berubah menjadi senyum nakal yang nyaris kekanak-kanakan.
“Kamu yang mulai duluan, ya!” ucapnya, matanya berbinar.
Tanpa menunggu izin, Tria membalas dengan mencium bibir Duna. Kali ini lebih dalam, lebih lama, penuh gairah yang ditahan terlalu lama. Tangannya menggenggam lembut sisi wajah Duna, sementara tubuhnya perlahan mendekap istrinya dalam kehangatan yang sangat dirindukan. Duna membalas dengan tangan yang kini melingkar di leher Tria, membiarkan dirinya larut dalam ciuman itu.
Mereka tak terburu-buru. Tak perlu. Karena waktu seolah berhenti sejenak, memberi mereka ruang untuk melepaskan segala rindu yang telah lama mengendap di dada. Ciuman mereka bukan sekadar luapan hasrat, tapi juga pengakuan diam bahwa mereka saling merindukan. Saling mencintai. Dan akhirnya saling menemukan lagi di kehidupan kedua.
Di tengah-tengah ciuman yang begitu hangat dan memabukkan, perut Duna tiba-tiba berbunyi, nyaring dan tak bisa diabaikan.
Tria spontan menghentikan gerakan bibirnya. Wajahnya mundur sejengkal, memandangi Duna dengan kening berkerut.
“Kamu belum makan?” tanyanya dengan nada kaget yang penuh perhatian.
Duna tersenyum malu, pipinya bersemu merah. “Dari pagi,” jawabnya jujur, tanpa berniat menyembunyikannya.
“Ya ampun!” pekik Tria, nyaris melompat dari sofa. “Ayo kita keluar cari makan.” Ia segera mengulurkan tangannya, bersiap menarik Duna berdiri.
Namun, Duna malah menggeleng pelan. “Aku mau makan di rumah.” Pintanya.