Duna berbaring miring, matanya menatap lurus ke arah Tria yang berbaring dalam posisi serupa di hadapannya. Jari-jari mereka saling terpaut, menggenggam erat seolah takut lepas. Tak ada kata yang terucap, hanya keheningan hangat yang nyaman, penuh makna.
Sudah sehari semalam mereka nyaris tak keluar rumah. Lebih tepatnya, nyaris tak keluar kamar. Waktu mereka habiskan berdua bermesraan: berpelukan, bercengkrama, saling mengisi, menertawakan hal-hal kecil, dan tentu saja, mencurahkan rindu yang rasanya tak ada ujungnya, meski sudah berkali-kali tumpah, tak juga habis.
Tria sesekali membelai rambut Duna, mengecup pipinya, dahinya, bibirnya. Lalu Duna akan memeluk Tria erat, membenamkan wajahnya di dada Tria, berlama-lama disana.
“Kamu nggak berangkat kerja?” tanya Duna kemudian, ia baru ingat kalau hari ini hari senin.
Tria bergeleng, “Aku cuti lama.”
Duna menarik wajahnya dari dada Tria, sedikit mendongak menatap wajah Tria dengan penuh minat. “Berapa lama?”
“Seminggu,” sahut Tria sambil tak berhenti mengusap-usap bahu Duna.
Duna langsung bergerak duduk, “Kita jalan-jalan, yuk! Sayang banget kalau dirumah aja.”
Senyum tipis tersungging di wajah Tria, ia ikut duduk. “Mau kemana?” tanyanya sambil lagi-lagi membelai kepala Duna, seperti itu adalah kebiasaannya sejak lama.
“Mmmm,” mata Duna berputar, berpikir dengan seksama kemana tempat yang sudah lama ingin dia tuju. “Pantai?”
Tria tersenyum sambil membelai pipi Duna. “Ayo! Mandi dulu?”
“Hm.” Duna beranjak dari kasur, namun Tria malah menarik tangganya.
“Bareng?” ucap Tria dengan tatapan nakal yang entah sudah berapa kali ia tampilkan sejak kemarin.
Duna menghempas tangan Tria, “Nggak ih!” sahutnya malu, langsung berlari keluar kamar dan masuk ke dalam kamar mandi.
Di atas kasur Tria terkekeh sambil membaringkan tubuhnya kembali ke kasur. Merasa hangat bahkan di dalam kamarnya yang dingin karena angin AC yang cukup kencang. Kehangatan yang berasal dari aura dan aroma Duna yang memenuhi seluruh ruangan.
Ia melempar pandangannya ke jendela kamarnya, melihat jauh ke pemandangan di luar rumahnya. Di sana, di seberang jalan sana, ada kamar yang selalu ia pandangi selama tujuh tahun lebih. Sambil meratapi kebodohannya karena telat menyadari perasaannya pada Duna, sambil menanti-nanti untuk bertemu lagi, dan sesekali berandai bagaimana wajah Duna saat itu.
Semua itu telah menjadi kebiasaan bahkan sebelum ia sempat menyadarinya. Selama tujuh tahun lebih itu, setiap kali ia membuka gorden kamar, ia otomatis akan menatap jendela kamar Duna. Tempat itu, tempat kosong itu, sama persis dengan ruangan di hatinya, yang meski ia paksa isi dengan wanita lain, meski coba ia abaikan, terus menerus masih dalam keadaan yang sama.
Ia memejamkan mata erat-erat. Kalaupun ada cara untuk menebus waktu yang hilang, rasanya seumur hidup pun takkan cukup. Terlalu banyak yang telah ia lewatkan, terlalu banyak yang tak bisa ia ulang. Dan memaksakan diri untuk mengejar semua itu hanya akan membuatnya kehilangan lebih banyak lagi.
Jadi, ia memilih untuk menyerah pada alur waktu. Tidak lagi membuat rencana, tidak akan membuat garis finis sebagai tujuan. Ia akan menjalaninya sebagaimana adanya, hari demi hari, detik demi detik, bersama Duna.
Kemanapun Duna ingin melangkah, apapun yang ingin Duna lakukan, Tria berjanji pada dirinya sendiri, ia akan ada di sana. Menemani, memenuhi, mencintai. Dengan sepenuh hati, dengan seluruh jiwanya.
***
Duna berlari di pinggir pantai, membiarkan angin menerpa wajahnya, dan pasir mengotori kakinya. Setelah beberapa puluh meter berlari, dia menengok, melihat Tria yang berjalan santai sambil membawa sendalnya sendiri di tangan kanan dan sendal Duna di tangan kirinya.
Pria tampan itu hari ini, untuk pertama kalinya, mengenakan baju putih polos, baju yang Duna belikan dalam perjalanan pulangnya dari rumah sakit kemarin.
Sebenarnya, Tria agak bingung kenapa Duna tiba-tiba memintanya memakai baju itu. Tapi begitu Duna berkata kalau di pantai nanti pasti panas, dan baju hitam hanya akan menyiksa tubuhnya sendiri, Tria langsung menurut, mengenakannya sambil tersenyum.
Padahal, dari awal pun dia memang tak berniat menolak. Hanya saja, melihat ekspresi manja Duna, yang setengah merengek, setengah memohon agar ia tak memakai hitam hari ini, terlalu menggemaskan untuk dilewatkan. Ada bagian dari dirinya yang senang dibuat luluh oleh rengekan itu, dan ia pun ingin memperlihatkan ke Duna, kalau apapun yang Duna minta dia lakukan, dirinya akan menurut tanpa perlawanan.
Kini, wanita yang dicintainya itu tengah berlari kecil ke arahnya, mengenakan t-shirt pink yang ujungnya diselipkan ke dalam celana jeans gombrongnya. Senyumnya merekah lebar, dan tanpa ragu langsung menabrak tubuh Tria, memeluknya erat hingga sandal-sandal yang tadi dibawa Tria jatuh berserakan di pasir.
Tria membalas pelukan itu dengan lebih erat lagi, lalu tiba-tiba mengangkat tubuh Duna dan memutarnya sekali. Duna langsung memekik, campuran antara takut dan senang, lalu tertawa lepas saat Tria menurunkannya kembali ke pasir.
“Di sana ada yang jual es kelapa,” tunjuk Duna ke tempat tadi ia berlari. Lalu menggandeng tangan Tria.
“Bentar,” tahan Tria. Tangannya tetap menggenggam tangan Duna, sementara satu tangan lainnya sibuk memunguti sandal-sandal yang berserakan.
Begitu selesai, ia segera menyamakan langkah dengan Duna yang setengah berlari kecil.
Saat Duna memesan kelapa muda, Tria duduk di atas pasir. Pandangannya terus mengikuti Duna, lehernya menoleh nyaris sembilan puluh derajat tanpa mengeluh pegal sedikit pun. Senyum tak lepas dari wajahnya, ada sesuatu yang menghangat di dadanya. Bukan gejolak cinta yang membuncah, bukan pula euforia yang membuat mabuk kepayang. Tapi rasa tenang, utuh, seperti bagian hidup yang dulu hilang kini telah kembali ke tempatnya.
Tak lama, Duna kembali dengan langkah ringan, membawa satu kelapa muda lengkap dengan dua sedotan.
“Manis!” serunya setelah menyeruput lebih dulu. Ia lalu menyodorkannya pada Tria, yang ikut mencicipi dan langsung mengangguk setuju.
“Ahhh,” Duna menghela napas panjang, lalu meletakkan kelapa itu di atas pasir. Ia menyelonjorkan kakinya, lalu menyandarkan tubuh dengan kedua tangan di belakang, menatap laut lepas di hadapan mereka. “Udah lama banget aku mau ke pantai tapi nggak pernah kesampaian. Makanya aku iri banget pas tahu waktu itu Tami liburan ke pantai.”
Tria menatap dengan mata tersenyum, ia belum pernah melihat Duna bicara sebanyak hari ini. Ada sedikit perasaan kaget dan belum terbiasa, tapi selebihnya hanya bahagia, melihat Duna yang ceria, terasa lebih menyenangkan lebih dari apapun yang pernah ia alami.
“Kamu sebenarnya gimana bisa baikan sama Tami?” tanya Tria, dia masih penasaran, karena sampai saat ini masih belum tahu apa yang terjadi pada mereka.