AS NIGHT FALL BY

Arisyifa Siregar
Chapter #42

42. Kehidupan Baru

Dua bulan kemudian…


“Duna… sayang…” Tria merajuk di atas kasur, nadanya manja tapi penuh keseriusan.

Duna tak menyahut. Ia masih duduk membungkuk di depan meja, matanya terpaku pada layar tablet, jemari tangan terus menari-nari, menggambar episode webtoon-nya yang terbaru..

“Sayang… ini udah malam, kamu harus tidur,” bujuk Tria lagi, sudah entah keberapa kalinya dalam setengah jam terakhir.

“Nanti, bentar lagi,” sahut Duna cepat, tanpa menoleh.

Tria mendengus pelan, lalu bangkit dari kasur. Ia mendekati meja kerja Duna, berdiri menyandar dengan satu tangan di pinggir meja. “Emang nggak bisa dilanjut besok? Aku udah bilang berkali-kali, aku nggak suka kamu begadang,” ucapnya pelan, tapi jelas ada nada tegas di sana.

Duna tetap tak menjawab. Fokusnya penuh pada layar tablet. Deadline menanti, dan sejak menandatangani kontrak dengan agensi, semua harus berjalan sesuai jadwal. Termasuk draft episode yang wajib dikirim dua minggu sebelum tayang.

“Duna!” panggil Tria lagi, kali ini sambil menyentuh tangan Duna.

Duna kaget. Garis gambar yang tengah ia buat mendadak berantakan. “Aduh!” keluhnya, mendongak ke arah Tria. “Aku udah bilang jangan ganggu kalau aku lagi gambar!”

“Tapi ini udah lewat tengah malam,” tekan Tria lagi, tak mundur.

“Tapi aku harus kelarin ini!” balas Duna dengan nada naik.

Keduanya saling menatap, dahi sama-sama berkerut, rahang mengeras, mata tak mau mengalah.

Hening. Sampai akhirnya Duna memejamkan mata sejenak, menarik nafas, lalu bangkit dari kursinya. Ia tahu ia tak akan pernah bisa menang jika adu ‘keras kepala’ dengan Tria. Tanpa sepatah kata pun, Duna naik ke kasur. Ia membalikkan badan, menghadap dinding, posisi yang membuatnya membelakangi Tria, lalu menarik selimut sampai ke pundaknya.

Tria juga tak mengatakan apapun, ia mematikan lampu meja, berjalan ke kasur dan ikut berbaring. Dengan posisi berlawanan, yang membuat mereka saling membelakangi.

Akhir-akhir ini mereka sering berdebat. Tentang hal-hal kecil, tentang kebiasaan yang sulit diubah, tentang siapa yang harus mengalah terlebih dulu. Kadang hanya soal waktu tidur, makanan, atau kebiasaan meletakkan barang sembarangan. Hal remeh, tapi entah kenapa tetap bisa memicu pertengkaran.

Meski begitu, mereka selalu berhenti sebelum kata-kata menyakiti. Bukan karena tak mampu melawan, tapi karena keduanya masih berusaha saling menjaga, bahkan di tengah amarah yang memuncak. Saling diam jadi cara mereka meredakan luka sebelum sempat menyayat.

Selalu menjadi yang paling tak tahan dalam memelihara ego, Tria akhirnya berbalik badan, menatap punggung Duna yang tertutup selimut. Ada desah pelan dari nafas istrinya, entah karena lelah atau masih kesal. Ia ingin menyentuh bahu itu, menariknya pelan, lalu minta maaf. Tapi tangan Tria hanya terangkat setengah, lalu jatuh lagi di sisi tubuhnya.

Di dalam hati, Tria tahu mereka tidak sedang bertengkar hebat. Hanya sedikit letih untuk terus memahami. Terlalu gengsi untuk membuka percakapan lebih dulu. Tapi juga terlalu sayang untuk benar-benar membuat jarak.

Ia menggeser badannya mendekat, lalu di bawah selimut, satu tangan perlahan menyelinap ke bawah pinggang Duna, sementara tangan lainnya merangkul dari atas, menciptakan pelukan diam-diam di tengah gelap.

Duna tak langsung bereaksi. Tapi beberapa detik kemudian, tangannya bergerak, menyentuh tangan Tria yang melingkar di perutnya. Tak ada kata. Tak ada pelukan penuh gairah. Hanya genggaman ringan yang menghangatkan malam.

Dan di sana, dalam hening yang nyaris tak terdengar, mereka berdamai.

Diam-diam, cinta mereka tak hanya bertahan, ia tumbuh. Perlahan, tapi pasti.

Karena mereka tahu, belakangan inilah waktu di mana mereka benar-benar mulai saling mengenal. Meski sudah saling kenal sejak remaja, dan hampir satu tahun menjalani pernikahan, nyatanya baru sekarang mereka benar-benar belajar hidup bersama. Menyamakan ritme, memahami kebiasaan sehari-hari, dan melihat lebih jauh ke dalam satu sama lain sebagai pasangan hidup.

***

Duna menyusuri setiap sudut kamar, kamar mandi, ruang tamu, dapur, dan sekeliling rumah. Tapi ia sama sekali tak menemukan gelangnya. Ia memegang kepalanya yang terasa makin pusing setelah terus-terusan menunduk. Lalu melirik ke arah jam dinding, sadar saat ini bukan saatnya ia membuang-buang waktu untuk mencari gelangnya. Ada hal yang lebih darurat untuk dikerjakan sekarang, tak peduli seberapa berharganya gelang itu untuknya.

Lihat selengkapnya