Leo terbangun dari tidurnya saat mendengar bunyi bel ditekan berkali-kali. Laki-laki berusia awal 30an itu mengusap wajahnya sebelum kemudian bangkit dari ranjang menuju pintu apartemennya yang terus-terusan ditekan bell itu. Membuka pintu dan Leo dapati Bundanya tengah menyipit menatap anak sulungnya.
"Kenapa lama banget bukanya?" Emila—Ibu angkat Leo—langsung bertanya pada anaknya sesaat Leo membuka pintu.
"Baru bangun, Bunda," jawab Leo.
"Begadang lagi kan, semalam?" Tanpa memperdulikan putranya itu yang matanya masih terbuka setengah itu, Emila langsung masuk ke dalam apartemen putranya. Melihat ruangan itu yang cukup rapi dan bersih. Emila pun menuju dapur, membuka kulkas dan mendapati kulkas yang melompong bahkan sekedar air putih pun tidak ada.
"Kenapa kulkasnya kosong?" tanya Emila.
"Leo kan jarang di apartemen, Bunda. Kalau mau makan kan tinggal ke seberang." Leo kemudian menatap jam di dinding. Pukul 7 pagi dan Bundanya bertandang pagi-pagi begini. Karyawan Rumah Rasa saja pasti belum pada berdatangan.
"Bunda kenapa kesini pagi-pagi? Emangnya nggak dicariin Ayah?" tanya Leo.
Emila tidak menjawab. Masih asyik inspeksi menjelajahi apartemen putranya. Masuk ke dalam kamar Leo dan mendapati ruangan itu hanya ranjang tidurnya saja yang berantakan. Lalu menemukan plastik laundry berisi baju-baju bersih yang belum dimasukan ke dalam lemari.
"Ini kok masih di sini?" tanya Emila.
"Belum sempet beresin, Nda," jawab Leo yang mengekori ibunya.
Emila pun hendak membuka plastik laundry itu. Namun sesaat, Leo mengingat bahwa selain pakaiannya, ada benda lain yang bukan milikinya berada di dalam sana. Tersadar dan Leo langsung menarik plastik itu dari bundanya.
"Nanti Leo beresin," kata Leo berusaha bersikap sesantai mungkin agar Bundanya tidak curiga.
Emila sempat menyipit. Namun akhirnya membiarkan saja plastik berisi baju-baju bersih itu diambil oleh Leo dan disimpan di sisi lemari. Kini Emila jelajahi apartemen putranya yang hanya terdiri dari dua ruangan itu. Hendak keluar dari kamar Leo, Emila menemukan sebuah benda lain yang menarik perhatiannya tergeletak di atas meja.
"Ini punya siapa?" tanya Emila mengambil stetoskop yang jelas sekali pasti bukan milik putranya. Lagi pula, Leo itu tidak begitu tertarik pada ilmu kesehatan.
"Punya temen Leo, Nda," jawab Leo.
Leo mendekat pada ibunya. Mengambil stetoskop milik Nasa yang ia bawa ke apartemen lalu menyimpannya di dalam laci. Setelah itu, laki-laki itu merangkul bundanya untuk diajaknya keluar kamar. Bisa semakin bahaya kalau Emila lama-lama berada di dalam kamarnya. Apalagi kalau kembali meraih plastik laundry yang bukan hanya berisi pakaiannya, tapi ada bra hitam milik Nasa yang tidak tahu hendak Leo apakan karena si pemiliknya tidak mengakui benda itu.
"Temen kamu yang mana?" Emila mengernyitkan keningnya bingung. Seingatnya Leo tidak punya teman seorang dokter.
"Ada. Teman baru. Belum lama kenal," jawab Leo.
"Cewek?"
"Cowok, Nda." Leo terpaksa harus sedikit berbohong. Di usianya yang sudah kepala tiga ini Bundanya semakin rewel masalah pendamping. Bisa berabe kalau Leo bilang itu milik Nasa—seorang perempuan.
Emila pun mengangguk. Duduk di sofa depan TV yang kemudian diikuti oleh Leo yang duduk di sofa berbeda. Dia tidak menyangka hari ini Bundanya inspeksi dadakan seperti ini. Masalahnya Leo belum mempersiapkan diri. Apalagi setelah inspeksi, budanya itu akan melakukan intrograsinya.
"Pulang ke apartemen jam berapa semalam?" tanya Emila.
"Subuh, Nda." Leo menjawab jujur. Kalau tidak, Bundanya tidak akan percaya. Apalagi melihat lingkaran hitam dimatanya yang menandakan bahwa Leo kebanyakan begadang.
Emila pun berdecak menatap putranya itu. Tahu sekali dengan hobi Leo yang suka memasak makanan manis. Sebenarnya bukan Emila mau melarang, tapi Leo itu memasak sukanya di waktu dini hari dimana orang seharusnya istirahat, bukan memasak.
"Pulang subuh, tidur nggak teratur, makan juga nggak teratur, pakaian bersih didiamkan begitu aja di plastik laundry, kulkas kosong." Emila menatap putranya kemudian berdecak tidak suka. "Kan Bunda udah bilang, Leo, kalau belum mau menikah, tinggal di rumah. Tinggal sendiri begini nggak ada yang ngurusi kamu. Kalau sakit, siapa nanti yang rawat?"
Leo diam saja, tidak menjawab.
"Dari awal Bunda nggak setuju kamu tinggal sendiri. Nggak ada yang ngurusin kamu, Leo. Kalau memang nggak mau tinggal sama Bunda lagi, kamu menikah, cari istri." Kepindahan Leo ke apartemen ini tentu tidak mudah. Bundanya itu melarang dengan sangat pada awalnya. Syukurnya, Leo mendapat dukungan dari sang ayah yang mengijinkannya untuk mandiri apalagi usianya sudah matang seperti ini. Awalnya pun Leo tinggal di dapurnya di Rumah Rasa. Namun Emila mengomel panjang lebar dan membuat Leo akhirnya menyewa apartemen di seberang restoran keluarganya itu.
"Kalau nggak bisa cari calon sendiri, biar Bunda cariin. Kamu mau yang kayak gimana emang?" Bukan sekali tentu saja Emila selalu membahas jodoh untuk Leo. Namun ya, seperti biasa, Leo enggan unuk menanggapi.
"Bunda udah sarapan?" tanya Leo di luar dari topic.
"Nggak usah mengalihkan pembicaraan kamu. Bunda bahas sekarang kamu yang nggak ke urus begini tinggal sendiri. Pulang ke rumah, Leo. Tinggal di rumah. Atau cari istri kalau kamu nggak mau lagi tinggal sama Bunda."
"Nda ..." Leo mendekat pada ibunya. Duduk di sofa yang sama dan merangkul ibunya yang langsung melepaskan tangan putranya itu dari pundak. Dia tidak akan kemakan rayuan Leo.
"Leo bukan nggak mau tinggal sama Bunda," kata Leo. "Leo cuman mau coba tinggal sendiri dulu, sekalian ngurus Rumah Rasa. Tinggal di sini justru membuat Leo lebih mudah mengontrol Rumah Rasa. Berangkat ke sekolah juga dekat." Selain punya restoran keluarga, keluarga Leo pun memiliki sebuah yayasan sekolah yang terdiri dari TK sampai SMA. Saat ini masih dikelola oleh Ayahnya dan juga Adel yang sudah ikut membantu. Leo ke sana hanya sesekali kalau dibutuhkan.