Pintu kamar Leo diketuk kemudian terbuka dan muncullah wajah Adel yang masuk ke dalam kamarnya. Leo tersenyum kecil menyambut adiknya itu sembari bersandar pada sandaran ranjang.
“Nasa udah pulang?” tanya Adel yang mengambil duduk di sisi ranjang kakaknya.
Leo mengangguk. “Baru aja,” katanya.
Adik angkat Leo itu kemudian mengulurkan tangan, menyentuh kening Leo untuk memeriksa suhu tubuhnya. Tidak lama, tangan Adel pun turun kembali. Kini tatapannya tertuju pada Leo dengan serius.
“Nasa bilang apa?” tanya Adel.
“Apa?” Leo bertanya balik.
“Kondisi Kakak. Gimana? Tadi pagi Nasa bilang ini tuh karena Kakak kecapean, kurang tidur dan makan nggak teratur. Wajar banget bunda marah-marah dan suruh kakak cepet-cepet nikah. Liat, Kakak tinggal sendiri sakit begini.”
Mendengar omelan adiknya itu, Leo tersenyum.
“Kamu lama-lama mirip banget Bunda,” sahut Leo.
Adel berdecak. Menatap kakaknya itu sedikit kesal. Semakin bertambah usia, Leo jadi semakin menyebalkan. Salah satunya seperti ini. Disuruh menjaga kesehatan saja susah sekali.
“Kakak tau kalau aku sayang banget sama Kakak, kan?” Adel semakin serius menatap kakaknya itu.
Leo mengangguk. Tersenyum lembut dan mengusap kepala adiknya penuh sayang.
“Kamu juga tau jelas gimana perasaan kakak,” balas Leo.
“Kak!”
Leo terkekeh. “Kakak tau, Adel.”
“Kalau memang kakak lagi pendekatan sama Nasa, jangan lama-lama. Langsung lamar aja ajak nikah. Nasa itu anaknya nggak neko-neko dari dulu. Beda sama Sana yang suka kesana kemari, Nasa itu anak rumahan. Dia cantik, dia cerdas, dia juga dokter. Dia pasti bisa merawat kakak dengan baik. Dan yang paling penting, dia suka makan. Kakak suka kan liat perempuan yang doyan makan?”
Leo tersenyum kemudian mengangguk saja.
“Aku akan tunggu sampai kakak menikah sama Nasa,” sambung Adel.
Kali ini Leo menggeleng. “Jangan tunggu Kakak. Kamu tau Kakak nggak suka itu kan, Adel?”
“Aku bisa menunggu, Kak. Gauda juga. Kami lagi nggak terburu-buru. Aku juga ingin kakak bahagia.”
Leo kembali mengusap kepala adiknya penuh sayang. “Kamu telah jelas hal apa yang membuat kakak bahagia. Cukup melihat kamu, ayah dan bunda bahagia, kakak udah bahagia.”
“Aku semakin takut sama perasaan balas budi kakak itu.” Adel menatap kakaknya itu menyorot semakin kesal. “Kenapa kakak harus selalu memikirkan kebahagiaan aku, ayah dan bunda sedangkan kebahagiaan kakak sendiri nggak kakak pikirkan? Kakak kira kami senang ngeliat kakak yang begini?”
Leo menurunkan tangannya. Terdiam menatap adiknya itu.
“Kenapa kakak harus selalu mendahulukan kebahagiaan kami ketimbang perasaan kakak sendiri? Aku tau kakak ingin buka toko kue sendiri tapi kakak harus terjebak di Rumah Rasa karena ayah udah semakin tua. Kakak terjebak juga di yayasan karena Oma minta kakak bantu aku di sana. Kenapa kehidupan kakak harus selalu ditumbalkan untuk keinginan kami? Kebahagiaan kami?”
Leo menegakkan tubuhnya. Meraih tangan Adel dan menggenggamnya dengan erat. Memandang adiknya itu dengan dalam.